KARAWITAN
GENDING/GENDINGAN
1. Pengertian
Pengertian gending secara sederhana adalah
instrumentalia. Artinya lagu yang diungkapkan oleh nada-nada waditra
(alat-alat). Rd. Machyar Anggakusumadinta mengemukakan lebih lanjut tentang
pengertian gending ini sebagai berikut:
“Gending nyaeta rinengga suara anu diwangun ku
sora-sora tatabeuhan”
(Gending ialah aneka suara yang didukung oleh
suara-suara tetabuhan)
Dengan keterangan di atas, kiranya dapat kita
sederhanakan bahwa gending adalah lagu yang diungkapkan oleh suara tetabuhan.
Pengertian dari tetabuhan ini tidak terbatas pada alat-alat gamelan saja,
tetapi alat-alat non gamelan pun termasuk di dalamnya, seperti kacapi, calung,
angklung dan lain-lain
Orientasi gending dalam lagu cenderung pada
alat-alat yang bernada. Akan tetapi, disadari pulaselain untuk alat-alat yang
bernada, ada pula yang tidak bernada, seperti kendang, dogdog, kohkol dan
lain-lain. Khusus untuk untuk alat-alat ini apabila secara mandiri untuk
permainan dalam alunan bunyi pada suatu pergelaran, bisa kita sebut Karesmian
Padingdangan. Bunyi alu dan lesung telah mempunyai nama tersendiri yang
telah dikenal yaituTutunggulan..
Beberapa istilah yang menunjukan identitas
gendingan adalah lagu yang memakai kata Jipang, seperti Jipang
lontang, Jipang Karaton, Jipang Wayang dan sebagainya.
Dari pengertian ini kiranya para leluhur seni
pada waktu yang lampau telah secara khusus mengelompokkan lagu-lagu itu menurut
fungsi dan pembawaannya. Nama lain yang memberikan identitas gendingan
adalah Tatalu. Gending Tatalu sangat populer pada pertunjukan
teater rakyat/wayang golek. Biasanya dipergunakan sebagai gending pemula, untuk
menghimpun penonton atau iberan dalang dalam wayang golek.
Menurut irama lagu yang dipergunakan, gending
terdiri dari dua macam
1.1. Gending Irama Merdeka
Dalam gending irama merdika, alat yang
bersangkutan lebih menjurus kepada alat-alat yang bersifat individu. Hal ini
dapat dimengerti karena justru dengan irama bebas, waditra yang bersangkutan
lebih bebas dalam ungkapan-ungkapannya, di mana improvisasi yang penuh
dengan mamanis akan lebih terasa memberikan sifatnya yang
khas. Apalagi dalam karawitan Sunda, sifat-sifat dari alat-alat yang individu
ini sangat terasa menonjol, bahkan terasa menjadi sebagian dari ciri-ciri yang
dipunyai karawitan Sunda bila kita bandingkan dengan daerah lain.
Alat-alat yang paling kuat dalam gending irama
merdeka antara lain Rebab dan Suling, Kacapi dan Gambang memang
kuat, tetapi dalam pergelarannya lebih membutuhkan irama yang tandak; hal ini
mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
a) Kesan menyambung pada
bunyi
b) Cara menabuh
c) Jumlah nada-nada yang
tertentu
d) Kurangnya sifat alunan
Dengan demikian alat tiup dan alat gesek
mempunyai beberapa kelebihan tertentu bila dibandingkan dengan alat pukul dan
petik.
1.2. Gending Irama Tandak
Sesuai dengan arti tandak yang mempunyai arti
tetap/ajeg, maka pengertian gending tandak adalah gending yang mempunyai aturan
ketukan-ketukan dan irama tetap, terutama dalam rubuh frase kenongan dan
goongan. Perpindahan tempo dan irama lagu berjalan “mayat” terutama pada
bagian-bagian akhir goongan.
Gending tandak banyak dipergunakan untuk mengisi
sesuatu, baik sekar maupun tarian. Bentuk-bentuk gending tandak akan didapati
pada pergelaran, seperti:
a) Kacapi,
suling
b) Gambangan
(biasanya dilengkapi dengan ketuk dan kemyang serta gong)
c) Pradagan
(senggani) dalam gamelan lengkap, biasanya berlaras salendro atau pelog
d) Rebaban
(dilengkapi kacapi)
e) Lagu-lagu
ketuk tilu yang terdiri dari rebab, ketuk, kempyang, kempul, kendang dan gong.
f) Padingdang
(kendang penca) yang terdiri dari tarompet, kendang (terdiri dari kendang anak
dan kendang indung dalam cara memainkannya) dan bende/kempul/gong kecil.
g) Gending
degung yang terdiri dari suling, boning, cempres, panerus, jengglong, kendang
dan gong.
h) Calung
dan Angklung
2. Instrumen
Pada dasarnya semua waditra/instrument karawitan
Sunda dapat digunakan untuk gendingan/karawitan gending, tetapi pada pembahasan
kali ini yang akan dibahas hanyalah waditra/instrument yang populer dan banyak
sekali digunakan dalam kehidupan karawitan sehari-hari. Adapun
instrument/waditra-waditra itu adalah: Gamelan Pelog-Salendro, Gamelan Degung, Gamelan Renteng, Kacapi :
1. Istilah
istilah
Pada karawitan sunda, khususnya karawitan
gending terdapat beberapa istilah yang sering dipergunakan sehari-hari.
Adapun istilah-istilah itu antara lain:
1.1. Wiletan
Wiletan atau wiramatra identik dengan matra
(maat, metrum) pada musik atau pengertian gatra pada karawitan Jawa. RMA
Kusumadinata menguatkan arti sebagai berikut:
“Wiletan (wiramatra): tegesna lolongkrang di
antara dua wirahma” (Wiletan
merupakan jarak di antara dua wirahma)
Jatuhnya kenongan dan goongan banyak
berpangkal kepada wiletan, tergantung pada irama lagu yang dipergunakan,
sebagai contoh:
Irama lagu sawilet mempunyai 4 wiletan dengan
jumlah ketukan 16, pada gerakan sedeng/panengah. Tiap wiletan mempunyai 4
ketukan. Kenongan lagu jatuh pada ketukan ke-8 dan goongan jatuh pada ketukan
ke-16. untuk jelasnya perhatikan bagan di bawah ini:
/
/
wiletan = matra
/ . . . .
/
titik-titik, ketukan yang terdapat dalam matra/wiletan
N
NG
/ . . . . / . . . . / . . . . / . . . .
/
N = Kenongan, G = Goongan
Keterangan:
Sawilet mempunyai 4 wiletan, di mana pada
ketukan ke-8 jatuh kenongan dan pada ketukan ke-16 jatuh goongan dengan
mempergunakan irama lagu sedang.
Pembagian daerah wiletan pada irama lagu sawilet
terdiri dari:
/ .
. . . /
. . . .
/ . . .
. / . .
. . /
wiletan pancer wiletan
kenong wiletan pancer wiletan gong
Pembagian daerah kenongan dan goongan pada matra/wilet,
bila dilihat dari segi jalannya lagu:
/ .
. . . /
. . . .
/ . . .
. / . .
. . /
wiletan
gong
wilwtan kenong
wiletan
gong
Untuk lagu-lagu dua wilet pada dasarnya
merupakan perkalian dua dari bentuk irama satu wilet, baik dalam jumlah wiletan
maupun dalam ketukan, jatuh satu goongan pada irama dua wilet pada ketukan
ke-32 atau pada akhir wiletan kedelapan.
Pada prakteknya bentuk dua wilet ini dibagi lagi
menjadi dua bagian yaitu : Dua Wilet kendor dan Dua
Wilet gancang.
Para nayaga yang biasa mengiringi lagu-lagu
kawih dan sinden cenderung menyebut bentuk dua wilet gancang ini dengan sebutan
gerakan satu setengah. Disebutkan lebih lanjut bahwa untuk gerakan satu
setengah ini, irama yang dipergunakan dengan ukuran tertentu, yaitu sawilet
kendor, duawilet gancang. Irama satu setengah wilet ini sangat disenangi karena
terasa sangat leluasa untuk memberikan variasi dan improvisasi, baik untuk
sekar maupun untuk juru gending. Sekar dalam kawih paling banyak mempergunakan
wiletan satu setengah ini.
Bentuk lagu empat (4) wilet biasa menggunakan
gerakan lalamba atau lenyepan. Gong jatuh pada
ketukan ke-64 dan kenongan pada ketukan ke-32, dengan jumlah 16 wiletan dalam
satu goongan. Lagu lalamba biasa disebut lagu lagu “Ageng”. Hal ini sebenarnya
kurang tepat apabila yang menjadi pegangan pada bentuk empat wiletan, karena
bisa ditemukan lagu-lagu yang dikategorikan lagu ageng, tetapi dilihat jumlah
wiletannya, ternyata ada yang lebih, sebagai contoh kita dapati pada gending
Gawil. Suatu keistimewaan yang lain bahwa selain dari jumlah wiletan berbeda
dengan lainnya, juga terdapat gong rangkap (gong berturut-turut setelah gong
pertama kemudian gong lagi).
Lagu lalamba terasa adanya kekuatan dalam
menjalin rasa ketenangan; hal ini tampak dari segi lagunya dan tercermin dalam
teknis menabuh gamelannya. Dalam adegan wayang golek, lalamba sering digunakan
untuk watak-watak yang halus. Suatu hal yang sangat dominant sekali pada
lalamba ini ialah waditra rebab, di mana waditra ini dijadikan jejer/pokok yang
sangat menonjol sekali dalam membawakan melodi lagu dan dijadikan patokan untuk
gerakan tari yang dibawakan.
Gerakan Kering/Gurudugan, wiletan
hanya terdiri dari dua matra saja, gong jatuh pada ketukan kedelapan dan
kenongan jatuh pada ketukan ke empat. Karena gerakannya yang cepat pada wilet
kering ini, hamper tidak ada kesempatan kepada sekar untuk mengisinya. Irama
kering biasanya sangat sesuai untuk watak-watak keras dan kasar atau untuk
mendukung adegan peperangan.
Perubahan antara irama dalam ketukan wiletan dan
lagu disebut naek (ditaekeun)atau turun (diturunkeun).
Untuk naek dan turun ini waditra kendang mempunyai peranan penting dalam
memberi aba-aba dengan pukulan tertentu sehingga para juru gending mengerti
akan adanya peralihan dalam lagu gending. Istilah naek
(ditaekkeun) terjadi pada wiletan-wiletan terakhir pada lagu. Jalannya
lagu bisa menurun pada iramanya, kemudian kira-kira empat ketuk sebelum gongan
berjalan datar (cenderung lebih cepat) untuk kemudian masuk pada irama
tabuh/lagu yang dituju. Berikut ini tertera peralihan irama lagu dari empat
wilet sampai dengan kering. Arah panah menunjukan mulainya aba-aba perpindahan
pada irama lagu.
1.2. Pangkat
Pangkat ialah lagu yang pendek,
diaminkan/dibawakan oleh salah satu waditra atau sekar/vokal, untuk memulai
lagu/gending, baik yang bersifat tandak maupun irama merdeka.
Gunanya pangkat:
a. Untuk
memberi aba-aba dan pengarahan terhadap lagu yang akan dimainkan;
b. Untuk
memberikan irama lagu yang dipergunakan;
c. Dasar-dasar
patetan dan surupan untuk sekar dang ending.
Pada pergelarannya, pangkat bisa dibagi dalam
beberapa bagian, yaitu:
3.2.1. Pangkat Tabuh
Pangkat ini cenderung mempergunakan laras yang
sama untuk lagu yang akan dimainkan. Sangat terima sekali apabila pergelarannya
itu merupakan pergelaran gending saja (instrumentalia).
3.2.2. Pangkat Lagu
Pangkat ini lebih banyak berorientasi kepada
laras yang dipergunakan oleh lagu sekar. Waditra yang sangat memungkinkan ialah
rebab karena rebab bisa mengungkapkan nada-nada dalam berbagai laras. Sebagai
contoh, gamelan salendro bila akan mirig lagu sekar dalam laras lain seperti
degung, madenda, pelog, maka rebab langsung memainkan laras yang dipergunakan,
sedangkan waditra lain tetap menabuh dengan nada-nada salendro. Paduan antara
sekar dang ending dalam nada yang sama akan bertemu pada saat kenongan dan
goongan dengan bentuk-bentuk yang tumbuk. Yang dimaksudkan dengan tumbuk ialah
nada yang sama dalam laras yang berbeda, baik antara waditra dan wanitra maupun
waditra dengan sekar/vokal. Sifat iringan yang berbeda laras seperti contoh di
atas bisa disebut Panganti.
3.2.3. Pangkat Pangjadi
Dalam pangkat pangjadi, pangkat tidak putus
sesudah gong saja, tetapi setelah itu masih mempunyai tugas untuk mengarahkan
lagu yang akan dimainkan bersma, yang biasanya dibantu pula oleh waditra lain
yang berfungsi sebagai pembawa irama lagu, yaitu waditra kendang. Banyaknua
matera dalam pangkat pangjadi yang dilaksanakan kemudian setelah gong berkisar
pada satu atau dua matera saja. Contoh dalam gending bentuk lalamba sangat
jelas terasa adanya pangkat pangjadi.
3.2.4. Pangkat Peralihan
Bentuk dalam pangkat peralihan sebenarnya hampir
sama dengan pangkat-pangkat yang lain. Dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan
yang menyolok, yaitu sebagai jembatan peralihan, baik dalam irama lagu maupun
posisi tabuhnya.
Sebagai contoh pada iringan tari Anjasmara yang
memergunakan tabuh gending Rumiang sebagai patokan gendingnya,
diawali dahulu dengan gending “gurudugan” setelah ada aba-aba dengan kendang
maka salah satu waditra membuat pangkat peralihan dan memberikan arahan irama
dang ending yang akan dibawakan. Dalam iringan-iringan Tari Kursus terasa
setelah gerag Baksa (ngabaksaan) beralih kepada tari Lenyepan.
1.3. Posisi (Patokan/Pola) tabuh
Posisi Tabuh diambil atau diolah dari jatuhnya
kenongan dan goongan pada nada-nada yang tetap dengan ritme yang sama sebagai
bentuk kristalisasi untuk menyerhanakan bentuk.
Posisi tabuh bisa dikembangkan menurut
a. Patet yang
dipergunakan
Patet yang digunakan pada suatu gending apabila
dirubah maka akan terjadi perubahan baik akan jiwa gendingnya, suasana dan
tentu saja merubah nama lagunya. Patokan untuk diperbandingkan biasa
berorientasi kepada patet Nem (barang)
b. Irama lagu yang
dipergunakan
Perubahan terjadi pada dasarnya merupakan
pengembangan ritme pada jatuhnya kenongan dan goongan, akan menyebabkan pula
perubahan suasana, jiwa dan nama lagu. Contoh lagu Gendu sawilet diubah menjadi
empat wilet, maka nama lagunya menjadi Tablo.
Nama-nama posisi tabuh dalam patet Nem
(1).
Gendu
kenongan tabuh T (G)
(2).
Kulu-Kulu
kenongan tabuh L (G)
(3).
Banjaran
kenongan tabuh T (L) T (G)
(4).
Panglima
kenongan tabuh G (L) G (T)
(5). Karang
Nunggal
kenongan tabuh L (T) L (G)
(6).
Bendrong
kenongan tabuh (T) – (L)
(7).
Angle
kenongan tabuh (T) – (L) – (G)
(8). Renggong
Gancang
kenongan tabuh L (T) P (G)
(9).
Samarangan
kenongan tabuh (L) – (G)
Keterangan:
µ Nada
yang dipakai kurung artinya goongan
µ Untuk
posisi yang seluruhnya memakai kurung, berlaku rangkap, sebagai kenongan juga
sebagai goongan.
µ T
= Tugu, L = Loloran, P = Panelu, G = Galimer, S = Singgul
2. Ciri-ciri
Gending
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari
pengertian gending dengan segala ragamnya, sehingga dapatlah ditarik suatu
kesimpulan yang memberi batasan tentang cirri-ciri karawitan Sunda, khususnya
mengenai karawitan gendingnya.
Adapun cirri-cirinya adalah:
a) Memuai
Gending-gending pada bentuk tradisional
sebenarnya sederhana saja. Dari pola-pola yang sederhana ini dapat dikembangkan
lebih besar lagi atau lebih diciutkan dalam teknis pergelarannya. Sebagai
contoh sebuah kenongan tabuh dalam satu wilet, bisa dikembangkan menjadi dua
wilet, lalamba atau empat wilet ataupun kebalikannya, dengan tetap jatuhnya
kenongan dan goongan masih tetap pada nada-nada yang sama. Dengan demikian,
irama bisa berubah menurut kehendak penabuh yang bersangkutan.
Hal ini akan terlihat pada posisi-posisi tabuh,
baik yang dimainkan oleh gending gamelan maupun dalam gending kacapi dan
alat-alat lain. Perbedaan-perbedaan kadangkala hanya terletak pada nama saja
atau patet yang dipergunakan. Sebagai contoh: Kulu-kulu Bem adalah lagu yang
mempunyai irama empat wilet (lalamba), sedangkan posisi dasarnya cukup dikenal
ddengan nama Kulu-kulu.
Contoh-contoh lain bisa juga terlihat pada
jumlah lagu-lagu dalam vokal yang berangkat dari satu posisi saja, tetapi bisa
mengiringi bermacam-macam lagu dan laras yang berbeda-beda.
Sifat memuai dalam gending Sunda dapat
menjangkau beberapa hal, yaitu: Pengembangan Wiletan, Pengembangan
Patet, Pengembangan Laras dan Lagu serta Pengembangan
Dinamika.
b) Patet Kuat Kedudukannya
Seperti telah diterangkan di atas bahwa sifat
muai dalam gending Sunda bisa mengembangkan patet dan dengan pengembangan patet
itu terjadi bermacam-macam lagu. Dilihat dari teknis pagelaran, bila gending
Sunda bermain dalam satu patet (misalnya mengambil patet barang), maka
kedudukan patet tetap pada nada-nada yang telah tertentu. Melagukan gending
Banjaran, walaupun berubah-rubah wiletan, kedudukan patet tetap utuh.
Perpindahan laras dalam melodi rebab, sama
sekali tidak menggoyahkan patet yang dipergunakan dalam gending itu. Begitu
pula improvisasi-improvisasi dari waditra lain tetap teguh pada kedudukan
jatuhnya nada-nada kenongan dan goongan dalam patet itu.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari kuatnya
kedudukan patet dalam gending Sunda dapat terlihat dalam gending Sunda, yaitu
dalam hal ini:
1) Kedudukan
nama lagu dan posisinya
2) Sifat
polyphone yang jatuh pada arah nada yang sama dalam kenongan dan goongan
3) Kedudukan
tiap wiletan dalam jalannya lagu gending
c) Waditra Fleksible
Kelengkapan dalam jumlah waditra dalam gending
Sunda terasa tidak terlalu ketat, kecuali dalam waditra-waditra tertentu,
misalnya kendang atau rebab. Ketidak ketatan itu membawa pengaruh lain terhadap
waditra-waditra lain sehingga pergantian tugas antar waditra itu sering terjadi
dengan mempengaruhi tugas pokok dari waditra yang bersangkutan.
Sebagai contoh, tabuh boning sering memborong
sekaligus carukan dengan rincik atau demung karena demung atau rincik tidak
ada. Hal ini dapat terjadi pada iringan gamelan wayang. Saron 1 dan saron 2
selain bersahutan dalam carukan, sewaktu-waktu mempunyai tugas lain (biasanya
saron 2), yaitu dengan menabuh bagian selentem atau rincik. Gamelan yang
lengkap ini bisa kita lihat pada bentuk-bentuk kliningan atau iringan untuk
sandiwara. Begitu fleksibelnya waditra, sampai-sampai dalam kacapi pantun bisa
berfungsi bermacam-macam tabuh, di mana tabuh-tabuh itu kalau kita selidiki
secara saksama merupakan bentuk-bentuk tabuh yang ada pada waditra gamelan.
Demikian waditra itu tampak selain mempunyai
tugas yang khusus, dapat pula menjangkau tugas-tugas lain, terutama dalam
mengisi hal-hal yang kosong. Dengan demikian, tidaklah menjadi masalah, apakah
gamelan itu lengkap atau tidak karena pada hakikatnya tugas-tugas itu bisa
ditanggulangi oleh waditra lain. Tidaklah menjadi heran apabila dalam suatu
pagelaran kita hanya melihat gamelan yang mengemukakan hanya dua buah saron,
kendang dan gong saja. Hal inilah yang kadangkala menjadi perbedaan dengan
gending-gending Jawa yang membutuhkan perlengkapan yang lengkap.
Sifat fleksibel dari waditra sebenarnya tidak
terlepas pula dari sifat-sifat alat-alat (waditra) pada Karawitan Sunda yang
mempunyai sifat individu. Dari sifat individu inilah akhirnya mengembangkan
variasi-variasi tabuh yang bisa diolah dari mulai alat yang sederhana sampai
pada alat-alat yang lebih sukar. Gending Sunda bisa berjalan dari personal yang
sedikit, sampai dalam jumlah yang besar, dengan melakukan gending-gending yang
sama mereka berjalan dengan tetap harmonis.
d) Fungsi Kendang dan Rebab Sangat Menonjol
Kendang dan Rebab merupakan alat individu yang
mempunyai variasi tabuh yang banyak sekali. Kendang dan Rebab akan menjadi
ukuran terhadap keterampilan seseorang nayaga. Ukuran yang dimaksud ialah
ukuran yang berhubungan dengan prestise dan prestasi. Prestise banyak
berhubungan dengan imbalan yang tersendiri, terutama bila mereka itu
menerjunkan diri dalam kancah professional, sedangkan prestasi banyak
berhubungan dengan kecekatan dan kecakapan/keterampilan, karena dengan bisa
secara mahir menabuh kendang atau rebab, maka yang bersangkutan sudah dianggap
mampu memainkan gending dan waditra-waditra lain.
Sebenarnya masih ada alat-alat individu yang
lain, seperti kacapi dan suling, tetapi dalam pergelarannya jarang disatukan
dengan gending gamelan.
Kendang dan Rebab, demikian menonjol dalam
gending terutama dalam gending wayang dan iringan tari. Hal ini dapat
dimengerti karena ada beberapa hal yang memperkuat kedudukan fungsi rebab dan
kendang dalam gending, antara lain:
1) Sifat-sifat
individu
2) Menjadi
pembimbing terhadap waditra-waditra lain
3) Keperluan
gending itu sendiri yang lebih menonjolkan kendang dan rebab sebagai pendukung
utama
4) Warna-warna
yang berbeda dengan alat pukul lain
5) Kemungkinan-kemungkinan
lain alat itu sendiri yang sangat memungkinkan dapat ikut mendukung dalam
pagelarannya.
Untuk gending tari dan wayang, begitu pula
sekar/vokal, kendang dan rebab sangat terasa dominant sekali. Salah satu cirri
dari karawitan tari Sunda telah menonjolkan tepak-tepak kendang dalam mendukung
gerak-gerak tari itu, sedangkan rebab banyak dijadikan dasar-dasar lagu dan
dijadikan pula patokan dalam tarian yang dibawakan. Pada tari Lalamba akan
terasa hambar sekali bila waditra rebab ini tidak ada. Gunung Sari, Gawil,
Kawitan adalah nama-nama lagu yang padu dengan nama tarian dan sukar untuk
dipisahkan antara lagu dan gerak.
Demikian menonjolnya tepak-tepak kendang dalam
tari Sunda klasik, sampai-sampai kendang itu menjadi alat yang terkecuali tidak
dapat dipisahkan atau dihilangkan dalam teknis pagelarannya/pertunjukannya.
e) Nilai-nilai Tersendiri dalam Motif Tabuh
Lagam gending antar waditra gamelan menjadi
suatu komposisi yang padu dalam pagelarannya. Lagam-lagam itu mempunyai
motif-motif tabuh secara tersendiri, yang berlainan dengan waditra lain.
Dalam gamelan kita mengenal bermacam-macam
tabuh, seperti: Dicaruk, Dikemprang, Dipancer, Digumek, Dicacag dan
lain-lain.
Lagam carukan dalam saron, boning, gambang,
teknisnya berlainan walaupun ada persamaan-persamaan motif di dalamnya.
Perbedaan-perbedaan lagam gending ini membawa bentuk gending Sunda pada
cirri-ciri yang mandiri bila dibandingkan dengan gending-gending daerah lain.
Jelasnya gending Sunda didukung oleh melodi yang
berlainan lagam, menjadikan suatu paduan dengan jatuh bersamaan pada
patokan-patokan kenongan dan goongan.
3. Fungsi
Gending
Dari bebagai bentuk gending, baik yang dibawakan
secara individu ataupun secara bersama, maka dapatlah diuraikan fungsinya
sebagai berikut:
5.1. Rasa Kalangenan
Seseorang memainkan alat, lagu yang dibawakan
mungkin berpola posisi atau improvisasi semata. Dia memainkan alat itu untuk
dirinya sendiri apakah untuk mengisi rasa sepi atau pengisi waktu senggangnya.
Itulah salah satu cirri gending sebagai rasa kalangenan. Biasanya alat-alat
yang digunakan adalah alat individu. Sebagai contoh, dahulu seorang gembala
dengan sulingnya. Dia membawakan lagu untuk mengisi rasa sepi saja. Kalau hal
ini dikaitkan pula dengan struktur masyarakat Sunda dahulu yang bermasyarakat
huma (lading), kiranya gending kalangenan dapat memberi warna dan cirri dari
masyarakat huma/lading itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka
berkarawitan; mereka lebih banyak bersifat individu, karena cara kerja
seharian, tempat tinggal yang berjauhan dan selalu berpindah-pindah. Dari
cara-cara ini dapat memberi gambaran bahwa pengaruh struktur masyarakat Sunda
zaman dahulu telah memberi arah-arah kemdandirian dari gending-gending Sunda
yang lebih banyak penonjolan sifat-sifat individunya. Di kampung-kampung
sebenarnya berkalangenan gending itu masih ada, misalnya dengan gambang,
kacapi, taleot, empet-empetan, karinding dan lain sebagainya.
5.2. Iberan
Secara singkat “iberan” bisa diartikan sebagai
pemberitahuan. Lebih jauh iberan mempunyai jangkauan yang lebih luas daripada
sifat pemberitahuan itu sendiri, terutama yang berhubungan dengan
isyarat-isyarat tertentu. Isyarat-isyarat itu bila diungkapkan oleh gending,
biasanya lagu yang dibawakan itu telah mempunyai kebakuan-kebakuan tertentu
yang telah terjalin secara khusus. Jalinan itu bisa berorientasi pada dua arah,
baik jalinan komposisi daripada lagu/gending itu sendiri maupun jalinan yang
berhubungan antara penabuh dan pendengarnya.
Contoh yang sangat sederhana pada kehidupan
masyarakat masa lalu di pedesaan pada gending tutunggulan. Tutunggulan pada
waktu itu bisa memberikan isyarat bahwa di tempat itu akan ada selamatan. Akan
tetapi, tutunggulan itu sendiri bisa memberi isyarat pula bahwa ada gerhana
bulan (samagaha-Sunda). Alat yang lebih sedehana lagi, misalnya kentongan
(kohkol-Sunda). Dari alat ini, orang-orang yang mendengarnya bisa mengerti
tentang isyarat tabuhannya, apakah ada bahaya banjir, kebakaran atau kehilangan
sesuatu.
RRI Studio Bandung dengan suling tunggalnya
dalam lagam tembang memberikan beberapa isyarat, seperti:
a. Beberapa
saat lagi, siaran akan dimulai;
b. Memberi
identitas daerah terutama untuk para pendengar di luar Jawa barat
c. Memberi
warna khas salah satu alat dan lagu dalam karawitan Sunda.
d. Lebih
jauh lagi dapat kita dengar gending lagu Palwa. Palwa sebagai cirri akan
dimulainya warta berita dalam bahasa Sunda atau gending Calung untuk siaran
pedesaan.
Pada gending tatalu, kiranya isyarat-isyarat itu
lebih banyak lagi maksudnya, terutama pada tatalu pagelaran wayang golek.
Selain dari fungsinya menarik penonton untuk berkumpul atau tahap-tahap akan
dimulainya pagelaran itu sendiri, pada beberapa pergantian lagu secara langsung
mengingatkan sang dalang untuk bersiapsiap tampil ke pentas. “Ki Dalang” harus
sudah mengerti bahwa pada lagu tertentu harus keluar dan bergabung dengan para
nayaga. Apabila lagu itu selesai dengan cempala dan kecreknya dalang memberi
isyarat untuk memulai pagelaran wayang golek dan penonton pun dengan riangnya
menyambut gembira dimulainya pagelaran.
Pada pagelaran Degung, Lagu Jipang Lontang
sering dipakai sebagai lagu pembukaan dang ending jiro dipergunakan sebagai
gending penutup pagelarannya. Menurut para orang tua, dahulu ada gending khusus
untuk menyambut para pembesar Negara. Dengan spontan masyarakat mengerti dan
memberikan hormatnya seiring dengan suasana lagu itu.
Pada perkembangan sekarang, kiranya
gending-gending itu telah berkembang untuk promosi dagang. Orang-orang sudah
mengerti apabila mendengar melodi tertentu dari sebuah siaran radio atau TV
bahwa yang dimaksud adalah mempromosikan barang tertentu. Hal ini terutama pada
musik dan khusus untuk karawitan Sunda hal ini terasa masih jarang sekali.
Jadi, gending iberan, merupakan bahasa musik yang mengisyaratkan maksud-maksud
tertentu pada komposisinya yang telah mempunyai nilai-nilai kebakuan dalam
masyarakat pendukungnya. Ritme, lagu dan tempo masing-masing ikut berbicara
menuangkan kedalaman maksud yang terkandung dalam isyarat itu.
5.3. Penghantar Upacara
Fungsi gending di sini sangat erat bertalian
dengan pelaksanaan upacara yang dilaksanakan. Sebagai contoh gending-gending
pada Tarawangsa dan Jentreng di Rancakalong Sumedang, merupakan suatu kesatuan
dalam upacara “nginepkeun pare”. Demikian pula fungsi gamelan dang
ending pada Ajeng dalam upacara pesta laut di pesisir utara Jawa Barat.
Demikian lekatnya perpaduan itu sehingga baik alat maupun lagu gending tidak bisa
diganti dengan alat-alat lain di luar waditra-waditra itu. Ungkapan contoh di
atas merupakan secuil kehidupan karawitan Sunda yang masih erat dengan
pertalian upacara yang berhubungan dengan alat atau tradisi. Contoh lain untuk
mendukung upacara-upacara yang sacral, tetapi pada perkembangannya sudah jarang
ditemukan, yaitu fungsi Gong Renteng dalam perayaan Mauludan, kesenian Buncis
pada upacara ngaseuk dan lain-lain.
Untuk tidak mengacaukan pengertian
upacara-upacara yang berhubungan dengan adapt atau tradisi, dimana kebakuan
alat dan lagu telah menjadi suatu kesatuan yang terpadu, hendaknya pengertian
upacara itu dipisahkan dengan pengertian upacara khusus sebagai materi seni
perkembangan sekarang. Pengertian upacara khusus sekarang merupakan kreasi materi
seni yang biasanya bertolak dari upacara yang baku atau mendekatkan suasana
pada upacara yang akan berlangsung. Sebagai contoh, upacara khusus “mapag
panganten”, pengolahan sekar dang ending banyak berorientasi pada kebakuan,
tetapi disana-sini mendapat penataan kembali dalam bentuk kreasi baru.
Pendekatan suasana pada upacara yang akan berlangsung, misalnya pada
upacara-upacara peresmian sesuatu yang dilakukan oleh para pejabat
pemerintahan. Baik jalan upacara, apalagi gending-gendingnya selain mengambil
bentuk tradisi juga ditambah dengan olahan baru. Jelas hantaran gending pada
upacara seperti ini tidak mutlak harus dibawakan oleh alat itu saja,
sewaktu-waktu bisa dengan alat lain. Iniulah perbedaan yang jelas apabila
dibandingkan dengan upacara-upacara yang bersifat adapt atau tradisi, di mana
fungsi gending dan alatnya sangat lekat terpadu dengan jalannya upacara.
5.4. Pengiring/Pririgan
Seperti diketahui bersama, salah satu fungsi
gending adalah untuk mengiringi. Dalam kehidupan karawitan Sunda, diketahui
pula bahwa gending biasa dipergunakan untuk pengiring sekar/vokal, tari, teater
daerah, dan sebagainya.
Untuk Sekar bisa digunakan iringan gamelan
pelog-salendro, gamelan degung, kacapi, angklung, calung dan lain-lain. Begitu
pula pergelaran tari, lebih banyak digunakan gamelan pelog-salendro dan
sekali-kali menggunakan gamelan degung. Namun, pada perkembangan sekarang
banyak koreografer-koreografer memanfaatkan waditra lain untuk mengiringi
tariannya, misalnya instrument kacapi, suling dan waditra-waditra lainnya.
Dalam mengiringi pergelaran wayang, iringannya
menggunakan gamelan, yaitu untuk wayang golek purwa menggunakan gamelan
pelog-salendro, wayang pakuan dengan gamelan degung, wayang cepak gaya Priangan
dengan gamelan pelog dan wayang pantun dengan gamelan salendro (dimana dalam
pergelarannya dipakai juga waditra kacapi dengan laras degung)
5.5. Pemberi Suasana
Kehadiran gending terasa dibutuhkan, misalnya
pada penerimaan tamu atau mengisi kesenggangan dalam keadaan yang santai. Kita
mendengar ada musik pagi,, musik siang hari, musik malam, inilah pemberi
suasana dari kehadiran gending. Bentuk lagunya kebanyakan dibawakan secara
instrumentalia/gendingan dan lagu-lagunya disesuaikan pula dengan keadaan
waktunya sehingga terasa ada jalinan suasana antara waktu dan lagu.
Perkembangan lain beranjak pada pembacaan puisi,
gending berfungsi sebagai ilustrasi. Di samping itu, terasa adanya suasana yang
akrab antara pembaca puisi dan lagu. Apalagi apabila puisi berbahasa daerah,
kemudian karawitan menjadi pendamping suasananya, terasa kepaduan itu terjalin
dengan harmonis.
Secara tidak disengaja, banyak pula orang yang
akan tidur mudah terlena apabila mendengar kacapi suling Cianjuyran. Mungkin
saja hal disebabkan oleh lagunya yang melankolis, tetapi dari segi lain kita
dapat merasakan bahwa warna kacapi suling (terutama dalam tembang) suasananya
sangat erat sekali mendukung suasana malam.
5.6. Pengungkap Ceritra
Apabila sebuah ceritera diungkapkan melalui
bahasa atau dari bahasa diungkapkan lagi dalam sekar sudah menjadi hal yang
biasa. Sebagai contoh dalam Gending Karesmen telah kita dapati. Tetapi
apabila jalinan cerita itu diungkapkan dalam komposisi gending hal itu masih
merupakan barang langka dalam perkembangan karawitan Sunda. Padahal, sebenarnya
lagu-lagu degung instrumental pada zaman dahulu sudah merupakan dasar-dasar
kuat dalam bentuk ini.
Di dunia musik, telah banyak dikenal musik
programa yang banyak mengungkapkan ide ceritera dalam sebuah komposisi yang
besar. Sifat dari bentuk ini merupakan musik total, artinya ungkapan secara
penuh diformulasikan untuk musik tanpa kehadiran kata di dalamnya.
Kreasi baru dalam karawitan Sunda dalam
mengungkapkan ceritra dalam gending, diawali dengan gending “Hujan Munggaran”
karya Mang Koko pada tahun 1967, yang kemudian diangkat ke dalam tari oleh
Enoch Atmadibrata. Perkembangan setelah itu pada tahun 1976 dengan judul
“Simpay Galindeng Tineung” karya Nano. S dan disambung pada tahun 1979 dengan
Karawitan Gending Sangkuriang yang sekaligus merupakan wakil Jawa Barat dalam
Pekan Komponis Muda I di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Kekhususan dari karawitan gending seperti yang
diungkapkan melalui alat-alat karawitan; pendengar betul-betul diajak berbicara
dan berinterpretasi dalam nada-nada waditra dengan keanekaan warna dan
larasnya. Warna suara, laras dan berbagai surupannya, demikian pula dengan
tempo dan ritme berbicara mengungkapkan isi cerita yang diketengahkan.
Pendengar dituntut daya interpretasi dan imajinasinya dalam mencerna ungkapan
lagu yang dituangkan dari karawitan gending.
Dengan demikian jelaslah bahwa fungsi gending di
sini sebagai pengungkap interpretasi cerita yang dikomposisikan secara khusus
menurut gaya dan citra si seniman itu sendiri. Mengenai interpretasi penonton
atau pendengar pada karya cipta ini mungkin saja berbeda-beda dan apabila
terjadi hal seperti ini, sang komponis tidak akan mempersoalkannya karena telah
demikianlah adanya, di mana ia telah menyusun berdasarkan interpretasi dirinya
melalui liku nada dan melodinya.