Jumat, 04 Juli 2014

Tari Gambuh

TARI GAMBUH 
BUKAN SEKEDAR TARI KEPRAJURITAN

Di wilayah Kabupaten Sumenep, kota paling ujung dari pulau Madura pernah hidup tari Gambuh yang mirip dengan tari keprajuritan.  Dalam ragam gerak tari di bagian akhir terdapat ragam gerak tari yang menggambarkan prajurit sedang berlatih gladi keprajuritan.
Para penari menggunakan property dalam bentuk tameng kecil yang dikenakan pada punggung tangan, pada tameng tersebut dihias ornamen yang terbuat dari bahan cermin, cermin yang memantulkana sinar ini sebagai salah satu senjata untuk melindungi diri dari serangan musuh serta untuk membantu mengelabuhi pandangan musuh.
Dalam penyajian tari Gambuh diperagakan oleh empat penari laki-laki dalam posisi di empat titik sudut.
Supakrah (almarhum) memberikan penjelasan bahwa komposisi penari yang dilakukan oleh empat penari berdasarkan empat kiblat yaitu gambaran empat arah mata angin, barat-timur-utara-selatan, sedangkan di bagian tengah merupakan titik bayangan yang disebut sebagai titik kelima yang tidak ada penarinya tetapi perlu diketahui oleh para penari bahwa di titik bayangan tersebut sebagai mata hati, komposisi ini disebut sebagai keblat papat lima pancer, yang disebut pancer adalah titik bayangan yang ada di tengah (Sumenep,1985).
Teknik pernafasan yang digunakan oleh para penari menggunakan pernafasan 1-1 yang dilakukan dengan cara menghirup udara melalui salah satu sisi lubang hidung, ditampung di perut kemudian dihembuskan melalui sisi lubang hidung lainnya.   Pengaturan nafas ini diuapayakan bisa mengalir dengan sendirinya secara alami mengikuti gerak tubuh dengan tanpa paksaan.
Lintasan penari yang selalu dilakukan kearah kanan merupakan simbol perputaran bumi serta simbol dari perjalanan darah pada tubuh manusia, sedangkan gerakan kaki lebih dominan pada  perpindahan telapak kaki bergerak merapat lantai, hal ini dilakukan sebagai transformasi energi bumi kedalam tubuh manusia.
Dalam pertunjukan wayang topeng Madura pada grup Rukun Perawas pimpinan Supakrah (almarhum), tari Gambuh ini disajikan pada bagian awal.
Tata busana terdiri dari celana-sembong-stagen-sabuk timang- kace-polsdeker-klat bahu-ikat kepala-gongseng-keris-tameng kecil berdiameter kurang lebih 15 centimeter.
Dalam tata busana tersebut ada semacam hiasan kain yang diselipkan pada stagen berwarna putih-merah-hijau-kuning.  Putih sebagai simbol kesucian, merah sebagai simbol keberanian, hijau sebagai simbol kesuburan, kuning sebagai simbol ketulusan. 
Pada tahun 1990-an Taufiqurachman salah seorang Seniman tari Sumenep pernah menggarap tari Gambuh dengan menggunakan senjata keris serta diinterpretasikan sebagai tarian penyambutan tamu di keraton Sumenep. 
Dalam periode tahun 2000 ini muncul pula penggarapan tari Gambuh  dalam bentuk yang lain dengan nama Gambuh Pamungkas yang lebih mengacu pada upaya mencari model penyajian yang lain dari sebelumnya.
.


TOPENG KLANA GUNUNGSARI - PATRAJAYA

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiA6RkUJHlhhyphenhyphenJk760qmFjcvxvL99Ss3gkWBvBqMqsDgyyeDQgiJwbEMtPQ28GjjytiR_w6TXFiH3oBnHfzldh885aWtOZgj40nxw_72rNLZihxZRLcLtNXmV_UdGZIMWADNUzONO9q1HU/s320/Klana+Gunungsari-Patrajaya+%2528edit%2529.jpg
KLANA GUNUNGSARI DAN PATRAJAYA SIMBOL KEHRMONISAN DUA INSAN MANUSIA.
Pertunjukan wayang topeng di wilayah Malang, peran Klana Gunungsari dan Patrajaya merupakan dua peran yang mencerminkan sepasang insan manusia dari tingkatan sosial yang berbeda tetapi mempunyai hubungan yang harmonis.
Topeng Klana Gunungsari adalah seorang satriya putra raja Kerajaan Jenggala Manik yang digambarkan dalam wajah berwarna putih, berekspresi ceria.
Topeng Patrajaya adalah seorang abdi yang dengan setianya mendampingi Klana Gunungsari dalam berbagai keadaan suka maupun duka.  Topeng Patrajaya digambarkan dalam wajah berwarna putih dengan motif ukiran yang sangat sederhana, mulut bagian bawah ditiadakan sehingga pada waktu penari mengenakan topeng ini maka mulut bagian bawah (dagu asli) penari nampak.
Pola penyajian Klana Gunungsari-Patrajaya diawali dengan penampilan Patrajaya kemudian baru diikuti oleh Klana Gunungsari.
Ragam gerak tari Patrajaya bermotifkan sederhana, lucu, mendekati gerak-gerik keseharian dan diiringi gending gecul (lucu) dan ceria, misalnya gending ijo-ijo.
Ragam gerak tari Klana Gunungsari sudah terpola secara koreografis dan diiringi dengan gending Pedhat.  Beberapa gerak tari Klana Gunungsari antara lain : bukak keber - nyirig - medar malang - kencak - marakseba - gobesan.   Pada saat musik iringan berganti dengan gending Kaloirig beberapa ragam gerak tari bermotifkan kehidupan alam lingkungan antara lain: biyada mususi - leg-leg - tikus ngungak salang - merak keder - miyak glagah.  
Seluruh peran dalam wayang topeng di wilayah Malang ini tidak ada yang bicara kecuali Patrajaya, topeng-topeng yang lain dialognya dilakukan oleh sang Dalang.
Dalam dialog antara Klana Gunungsari dengan Patrajaya tersirat gambaran tentang keharmonisan komunikasi antara raja dan masyarakatnya.
Berbagai penelitian menginformasikan bahwa dalam buku Pararaton yang ditulis pada abad XIII meneriterakan bahwa pada pemerintahan Hayam Wuruk, Hayam Wuruk menarikan Klana Gunungsari untuk dapat berdekatan dengan masyarakat, untuk menginformasikan hal penting dari kerajaan maupun memberikan tauladan.
Dalam berbagai situasi Patrajaya sering memberikan nasehat, mengingatkan maupun memberikan masukan tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh Klana Gunungsari dalam menghadapi permasalahan

Jumat, 13 Juni 2014

Karawitan Sunda

KARAWITAN GENDING/GENDINGAN

1.       Pengertian
Pengertian gending secara sederhana adalah instrumentalia. Artinya lagu yang diungkapkan oleh nada-nada waditra (alat-alat). Rd. Machyar Anggakusumadinta mengemukakan lebih lanjut tentang pengertian gending ini sebagai berikut:
“Gending nyaeta rinengga suara anu diwangun ku sora-sora tatabeuhan”
(Gending ialah aneka suara yang didukung oleh suara-suara tetabuhan)

Dengan keterangan di atas, kiranya dapat kita sederhanakan bahwa gending adalah lagu yang diungkapkan oleh suara tetabuhan. Pengertian dari tetabuhan ini tidak terbatas pada alat-alat gamelan saja, tetapi alat-alat non gamelan pun termasuk di dalamnya, seperti kacapi, calung, angklung dan lain-lain

Orientasi gending dalam lagu cenderung pada alat-alat yang bernada. Akan tetapi, disadari pulaselain untuk alat-alat yang bernada, ada pula yang tidak bernada, seperti kendang, dogdog, kohkol dan lain-lain. Khusus untuk untuk alat-alat ini apabila secara mandiri untuk permainan dalam alunan bunyi pada suatu pergelaran, bisa kita sebut Karesmian Padingdangan. Bunyi alu dan lesung telah mempunyai nama tersendiri yang telah dikenal yaituTutunggulan..
Beberapa istilah yang menunjukan identitas gendingan adalah lagu yang memakai kata Jipang, seperti Jipang lontang, Jipang Karaton, Jipang Wayang dan sebagainya.
Dari pengertian ini kiranya para leluhur seni pada waktu yang lampau telah secara khusus mengelompokkan lagu-lagu itu menurut fungsi dan pembawaannya. Nama lain yang memberikan identitas gendingan adalah Tatalu. Gending Tatalu sangat populer pada pertunjukan teater rakyat/wayang golek. Biasanya dipergunakan sebagai gending pemula, untuk menghimpun penonton atau iberan dalang dalam wayang golek.



Menurut irama lagu yang dipergunakan, gending terdiri dari dua macam
1.1. Gending Irama Merdeka
Dalam gending irama merdika, alat yang bersangkutan lebih menjurus kepada alat-alat yang bersifat individu. Hal ini dapat dimengerti karena justru dengan irama bebas, waditra yang bersangkutan lebih bebas dalam ungkapan-ungkapannya, di mana improvisasi yang penuh dengan mamanis akan lebih terasa memberikan sifatnya yang khas. Apalagi dalam karawitan Sunda, sifat-sifat dari alat-alat yang individu ini sangat terasa menonjol, bahkan terasa menjadi sebagian dari ciri-ciri yang dipunyai karawitan Sunda bila kita bandingkan dengan daerah lain.

Alat-alat yang paling kuat dalam gending irama merdeka antara lain Rebab dan Suling, Kacapi dan Gambang memang kuat, tetapi dalam pergelarannya lebih membutuhkan irama yang tandak; hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
a)    Kesan menyambung pada bunyi
b)   Cara menabuh
c)    Jumlah nada-nada yang tertentu
d)   Kurangnya sifat alunan
Dengan demikian alat tiup dan alat gesek mempunyai beberapa kelebihan tertentu bila dibandingkan dengan alat pukul dan petik.

1.2. Gending Irama Tandak
Sesuai dengan arti tandak yang mempunyai arti tetap/ajeg, maka pengertian gending tandak adalah gending yang mempunyai aturan ketukan-ketukan dan irama tetap, terutama dalam rubuh frase kenongan dan goongan. Perpindahan tempo dan irama lagu berjalan “mayat” terutama pada bagian-bagian akhir goongan.

Gending tandak banyak dipergunakan untuk mengisi sesuatu, baik sekar maupun tarian. Bentuk-bentuk gending tandak akan didapati pada pergelaran, seperti:
a)    Kacapi, suling
b)   Gambangan (biasanya dilengkapi dengan ketuk dan kemyang serta gong)
c)    Pradagan  (senggani) dalam gamelan lengkap, biasanya berlaras salendro atau pelog
d)   Rebaban (dilengkapi kacapi)
e)    Lagu-lagu ketuk tilu yang terdiri dari rebab, ketuk, kempyang, kempul, kendang dan gong.
f)     Padingdang (kendang penca) yang terdiri dari tarompet, kendang (terdiri dari kendang anak dan kendang indung dalam cara memainkannya) dan bende/kempul/gong kecil.
g)   Gending degung yang terdiri dari suling, boning, cempres, panerus, jengglong, kendang dan gong.
h)    Calung dan Angklung

2.       Instrumen
Pada dasarnya semua waditra/instrument karawitan Sunda dapat digunakan untuk gendingan/karawitan gending, tetapi pada pembahasan kali ini yang akan dibahas hanyalah waditra/instrument yang populer dan banyak sekali digunakan dalam kehidupan karawitan sehari-hari. Adapun instrument/waditra-waditra itu adalah: Gamelan Pelog-SalendroGamelan DegungGamelan RentengKacapi :

1.       Istilah istilah
Pada karawitan sunda, khususnya karawitan gending terdapat beberapa istilah yang sering dipergunakan sehari-hari.
Adapun istilah-istilah itu antara lain:
1.1.   Wiletan
Wiletan atau wiramatra identik dengan matra (maat, metrum) pada musik atau pengertian gatra pada karawitan Jawa. RMA Kusumadinata menguatkan arti sebagai berikut:
“Wiletan (wiramatra): tegesna lolongkrang di antara dua wirahma” (Wiletan merupakan jarak di antara dua wirahma)
Jatuhnya  kenongan dan goongan banyak berpangkal kepada wiletan, tergantung pada irama lagu yang dipergunakan, sebagai contoh:
Irama lagu sawilet mempunyai 4 wiletan dengan jumlah ketukan 16, pada gerakan sedeng/panengah. Tiap wiletan mempunyai 4 ketukan. Kenongan lagu jatuh pada ketukan ke-8 dan goongan jatuh pada ketukan ke-16. untuk jelasnya perhatikan bagan di bawah ini:
/         /                    wiletan = matra         
/ . . . . /                    titik-titik, ketukan yang terdapat dalam matra/wiletan
                 N                  NG
/ . . . . / . . . . / . . . . / . . . . /                     N = Kenongan, G = Goongan
Keterangan:
Sawilet mempunyai 4 wiletan, di mana pada ketukan ke-8 jatuh kenongan dan pada ketukan ke-16 jatuh goongan dengan mempergunakan irama lagu sedang.

Pembagian daerah wiletan pada irama lagu sawilet terdiri dari:
/    .    .    .    .    /    .    .    .    .    /    .    .    .    .    /    .    .    .    .    /
  wiletan pancer    wiletan kenong   wiletan pancer     wiletan gong

Pembagian daerah kenongan dan goongan pada matra/wilet, bila dilihat dari segi jalannya lagu:
/    .    .    .    .    /    .    .    .    .    /    .    .    .    .    /    .    .    .    .    /
  wiletan gong              wilwtan kenong                     wiletan gong

Untuk lagu-lagu dua wilet pada dasarnya merupakan perkalian dua dari bentuk irama satu wilet, baik dalam jumlah wiletan maupun dalam ketukan, jatuh satu goongan pada irama dua wilet pada ketukan ke-32 atau pada akhir wiletan kedelapan.
Pada prakteknya bentuk dua wilet ini dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu : Dua Wilet kendor dan Dua Wilet gancang.
Para nayaga yang biasa mengiringi lagu-lagu kawih dan sinden cenderung menyebut bentuk dua wilet gancang ini dengan sebutan gerakan satu setengah. Disebutkan lebih lanjut bahwa untuk gerakan satu setengah ini, irama yang dipergunakan dengan ukuran tertentu, yaitu sawilet kendor, duawilet gancang. Irama satu setengah wilet ini sangat disenangi karena terasa sangat leluasa untuk memberikan variasi dan improvisasi, baik untuk sekar maupun untuk juru gending. Sekar dalam kawih paling banyak mempergunakan wiletan satu setengah ini.

Bentuk lagu empat (4) wilet biasa menggunakan gerakan lalamba atau lenyepan. Gong jatuh pada ketukan ke-64 dan kenongan pada ketukan ke-32, dengan jumlah 16 wiletan dalam satu goongan. Lagu lalamba biasa disebut lagu lagu “Ageng”. Hal ini sebenarnya kurang tepat apabila yang menjadi pegangan pada bentuk empat wiletan, karena bisa ditemukan lagu-lagu yang dikategorikan lagu ageng, tetapi dilihat jumlah wiletannya, ternyata ada yang lebih, sebagai contoh kita dapati pada gending Gawil. Suatu keistimewaan yang lain bahwa selain dari jumlah wiletan berbeda dengan lainnya, juga terdapat gong rangkap (gong berturut-turut setelah gong pertama kemudian gong lagi).

Lagu lalamba terasa adanya kekuatan dalam menjalin rasa ketenangan; hal ini tampak dari segi lagunya dan tercermin dalam teknis menabuh gamelannya. Dalam adegan wayang golek, lalamba sering digunakan untuk watak-watak yang halus. Suatu hal yang sangat dominant sekali pada lalamba ini ialah waditra rebab, di mana waditra ini dijadikan jejer/pokok yang sangat menonjol sekali dalam membawakan melodi lagu dan dijadikan patokan untuk gerakan tari  yang dibawakan.

Gerakan Kering/Gurudugan, wiletan hanya terdiri dari dua matra saja, gong jatuh pada ketukan kedelapan dan kenongan jatuh pada ketukan ke empat. Karena gerakannya yang cepat pada wilet kering ini, hamper tidak ada kesempatan kepada sekar untuk mengisinya. Irama kering biasanya sangat sesuai untuk watak-watak keras dan kasar atau untuk mendukung adegan peperangan.

Perubahan antara irama dalam ketukan wiletan dan lagu disebut naek (ditaekeun)atau turun (diturunkeun). Untuk naek dan turun ini waditra kendang mempunyai peranan penting dalam memberi aba-aba dengan pukulan tertentu sehingga para juru gending mengerti akan adanya peralihan dalam lagu gending. Istilah naek (ditaekkeun) terjadi pada wiletan-wiletan terakhir pada lagu. Jalannya lagu bisa menurun pada iramanya, kemudian kira-kira empat ketuk sebelum gongan berjalan datar (cenderung lebih cepat) untuk kemudian masuk pada irama tabuh/lagu yang dituju. Berikut ini tertera peralihan irama lagu dari empat wilet sampai dengan kering. Arah panah menunjukan mulainya aba-aba perpindahan pada irama lagu.

1.2. Pangkat
Pangkat ialah lagu yang pendek, diaminkan/dibawakan oleh salah satu waditra atau sekar/vokal, untuk memulai lagu/gending, baik yang bersifat tandak maupun irama merdeka.
Gunanya pangkat:
a.        Untuk memberi aba-aba dan pengarahan terhadap lagu yang akan dimainkan;
b.        Untuk memberikan irama lagu yang dipergunakan;
c.        Dasar-dasar patetan dan surupan untuk sekar dang ending.

Pada pergelarannya, pangkat bisa dibagi dalam beberapa bagian, yaitu:
3.2.1.  Pangkat Tabuh
Pangkat ini cenderung mempergunakan laras yang sama untuk lagu yang akan dimainkan. Sangat terima sekali apabila pergelarannya itu merupakan pergelaran gending saja (instrumentalia).



3.2.2. Pangkat Lagu
Pangkat ini lebih banyak berorientasi kepada laras yang dipergunakan oleh lagu sekar. Waditra yang sangat memungkinkan ialah rebab karena rebab bisa mengungkapkan nada-nada dalam berbagai laras. Sebagai contoh, gamelan salendro bila akan mirig lagu sekar dalam laras lain seperti degung, madenda, pelog, maka rebab langsung memainkan laras yang dipergunakan, sedangkan waditra lain tetap menabuh dengan nada-nada salendro. Paduan antara sekar dang ending dalam nada yang sama akan bertemu pada saat kenongan dan goongan dengan bentuk-bentuk yang tumbuk. Yang dimaksudkan dengan tumbuk ialah nada yang sama dalam laras yang berbeda, baik antara waditra dan wanitra maupun waditra dengan sekar/vokal. Sifat iringan yang berbeda laras seperti contoh di atas bisa disebut Panganti.

3.2.3. Pangkat Pangjadi
Dalam pangkat pangjadi, pangkat tidak putus sesudah gong saja, tetapi setelah itu masih mempunyai tugas untuk mengarahkan lagu yang akan dimainkan bersma, yang biasanya dibantu pula oleh waditra lain yang berfungsi sebagai pembawa irama lagu, yaitu waditra kendang. Banyaknua matera dalam pangkat pangjadi yang dilaksanakan kemudian setelah gong berkisar pada satu atau dua matera saja. Contoh dalam gending bentuk lalamba sangat jelas terasa adanya pangkat pangjadi.

3.2.4. Pangkat Peralihan
Bentuk dalam pangkat peralihan sebenarnya hampir sama dengan pangkat-pangkat yang lain. Dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan yang menyolok, yaitu sebagai jembatan peralihan, baik dalam irama lagu maupun posisi tabuhnya.
Sebagai contoh pada iringan tari Anjasmara yang memergunakan tabuh gending Rumiang sebagai patokan gendingnya, diawali dahulu dengan gending “gurudugan” setelah ada aba-aba dengan kendang maka salah satu waditra membuat pangkat peralihan dan memberikan arahan irama dang ending yang akan dibawakan. Dalam iringan-iringan Tari Kursus terasa setelah gerag Baksa (ngabaksaan) beralih kepada tari Lenyepan.






1.3. Posisi (Patokan/Pola) tabuh
Posisi Tabuh diambil atau diolah dari jatuhnya kenongan dan goongan pada nada-nada yang tetap dengan ritme yang sama sebagai bentuk kristalisasi untuk menyerhanakan bentuk.
Posisi tabuh bisa dikembangkan menurut
a.    Patet yang dipergunakan
Patet yang digunakan pada suatu gending apabila dirubah maka akan terjadi perubahan baik akan jiwa gendingnya, suasana dan tentu saja merubah nama lagunya. Patokan untuk diperbandingkan biasa berorientasi kepada patet Nem (barang)
b.    Irama lagu yang dipergunakan
Perubahan terjadi pada dasarnya merupakan pengembangan ritme pada jatuhnya kenongan dan goongan, akan menyebabkan pula perubahan suasana, jiwa dan nama lagu. Contoh lagu Gendu sawilet diubah menjadi empat wilet, maka nama lagunya menjadi Tablo.

Nama-nama posisi tabuh dalam patet Nem
(1). Gendu                                kenongan tabuh T (G)
(2). Kulu-Kulu                            kenongan tabuh L (G)
(3). Banjaran                             kenongan tabuh T (L) T (G)
(4). Panglima                            kenongan tabuh G (L) G (T)
(5). Karang Nunggal                  kenongan tabuh L (T) L (G)
(6). Bendrong                           kenongan tabuh (T) – (L)
(7). Angle                                  kenongan tabuh (T) – (L) – (G)
(8). Renggong Gancang             kenongan tabuh L (T) P (G)
(9). Samarangan                        kenongan tabuh (L) – (G)

Keterangan:
µ      Nada yang dipakai kurung artinya goongan
µ      Untuk posisi yang seluruhnya memakai kurung, berlaku rangkap, sebagai kenongan juga sebagai goongan.
µ      T = Tugu, L = Loloran, P = Panelu, G = Galimer, S = Singgul








2.       Ciri-ciri Gending
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pengertian gending dengan segala ragamnya, sehingga dapatlah ditarik suatu kesimpulan yang memberi batasan tentang cirri-ciri karawitan Sunda, khususnya mengenai karawitan gendingnya.
Adapun cirri-cirinya adalah:
a)   Memuai
Gending-gending pada bentuk tradisional sebenarnya sederhana saja. Dari pola-pola yang sederhana ini dapat dikembangkan lebih besar lagi atau lebih diciutkan dalam teknis pergelarannya. Sebagai contoh sebuah kenongan tabuh dalam satu wilet, bisa dikembangkan menjadi dua wilet, lalamba atau empat wilet ataupun kebalikannya, dengan tetap jatuhnya kenongan dan goongan masih tetap pada nada-nada yang sama. Dengan demikian, irama bisa berubah menurut kehendak penabuh yang bersangkutan.

Hal ini akan terlihat pada posisi-posisi tabuh, baik yang dimainkan oleh gending gamelan maupun dalam gending kacapi dan alat-alat lain. Perbedaan-perbedaan kadangkala hanya terletak pada nama saja atau patet yang dipergunakan. Sebagai contoh: Kulu-kulu Bem adalah lagu yang mempunyai irama empat wilet (lalamba), sedangkan posisi dasarnya cukup dikenal ddengan nama Kulu-kulu.
Contoh-contoh lain bisa juga terlihat pada jumlah lagu-lagu dalam vokal yang berangkat dari satu posisi saja, tetapi bisa mengiringi bermacam-macam lagu dan laras yang berbeda-beda.

Sifat memuai dalam gending Sunda dapat menjangkau beberapa hal, yaitu: Pengembangan Wiletan, Pengembangan Patet, Pengembangan Laras dan Lagu serta Pengembangan Dinamika.

b)  Patet Kuat Kedudukannya
Seperti telah diterangkan di atas bahwa sifat muai dalam gending Sunda bisa mengembangkan patet dan dengan pengembangan patet itu terjadi bermacam-macam lagu. Dilihat dari teknis pagelaran, bila gending Sunda bermain dalam satu patet (misalnya mengambil patet barang), maka kedudukan patet tetap pada nada-nada yang telah tertentu. Melagukan gending Banjaran, walaupun berubah-rubah wiletan, kedudukan patet tetap utuh.

Perpindahan laras dalam melodi rebab, sama sekali tidak menggoyahkan patet yang dipergunakan dalam gending itu. Begitu pula improvisasi-improvisasi dari waditra lain tetap teguh pada kedudukan jatuhnya nada-nada kenongan dan goongan dalam patet itu.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari kuatnya kedudukan patet dalam gending Sunda dapat terlihat dalam gending Sunda, yaitu dalam hal ini:
1)       Kedudukan nama lagu dan posisinya
2)       Sifat polyphone yang jatuh pada arah nada yang sama dalam kenongan dan goongan
3)       Kedudukan tiap wiletan dalam jalannya lagu gending

c)   Waditra Fleksible
Kelengkapan dalam jumlah waditra dalam gending Sunda terasa tidak terlalu ketat, kecuali dalam waditra-waditra tertentu, misalnya kendang atau rebab. Ketidak ketatan itu membawa pengaruh lain terhadap waditra-waditra lain sehingga pergantian tugas antar waditra itu sering terjadi dengan mempengaruhi tugas pokok dari waditra yang bersangkutan.

Sebagai contoh, tabuh boning sering memborong sekaligus carukan dengan rincik atau demung karena demung atau rincik tidak ada. Hal ini dapat terjadi pada iringan gamelan wayang. Saron 1 dan saron 2 selain bersahutan dalam carukan, sewaktu-waktu mempunyai tugas lain (biasanya saron 2), yaitu dengan menabuh bagian selentem atau rincik. Gamelan yang lengkap ini bisa kita lihat pada bentuk-bentuk kliningan atau iringan untuk sandiwara. Begitu fleksibelnya waditra, sampai-sampai dalam kacapi pantun bisa berfungsi bermacam-macam tabuh, di mana tabuh-tabuh itu kalau kita selidiki secara saksama merupakan bentuk-bentuk tabuh yang ada pada waditra gamelan.

Demikian waditra itu tampak selain mempunyai tugas yang khusus, dapat pula menjangkau tugas-tugas lain, terutama dalam mengisi hal-hal yang kosong. Dengan demikian, tidaklah menjadi masalah, apakah gamelan itu lengkap atau tidak karena pada hakikatnya tugas-tugas itu bisa ditanggulangi oleh waditra lain. Tidaklah menjadi heran apabila dalam suatu pagelaran kita hanya melihat gamelan yang mengemukakan hanya dua buah saron, kendang dan gong saja. Hal inilah yang kadangkala menjadi perbedaan dengan gending-gending Jawa yang membutuhkan perlengkapan yang lengkap.

Sifat fleksibel dari waditra sebenarnya tidak terlepas pula dari sifat-sifat alat-alat (waditra) pada Karawitan Sunda yang mempunyai sifat individu. Dari sifat individu inilah akhirnya mengembangkan variasi-variasi tabuh yang bisa diolah dari mulai alat yang sederhana sampai pada alat-alat yang lebih sukar. Gending Sunda bisa berjalan dari personal yang sedikit, sampai dalam jumlah yang besar, dengan melakukan gending-gending yang sama mereka berjalan dengan tetap harmonis.

d)  Fungsi Kendang dan Rebab Sangat Menonjol
Kendang dan Rebab merupakan alat individu yang mempunyai variasi tabuh yang banyak sekali. Kendang dan Rebab akan menjadi ukuran terhadap keterampilan seseorang nayaga. Ukuran yang dimaksud ialah ukuran yang berhubungan dengan prestise dan prestasi. Prestise banyak berhubungan dengan imbalan yang tersendiri, terutama bila mereka itu menerjunkan diri dalam kancah professional, sedangkan prestasi banyak berhubungan dengan kecekatan dan kecakapan/keterampilan, karena dengan bisa secara mahir menabuh kendang atau rebab, maka yang bersangkutan sudah dianggap mampu memainkan gending dan waditra-waditra lain.

Sebenarnya masih ada alat-alat individu yang lain, seperti kacapi dan suling, tetapi dalam pergelarannya jarang disatukan dengan gending gamelan.

Kendang dan Rebab, demikian menonjol dalam gending terutama dalam gending wayang dan iringan tari. Hal ini dapat dimengerti karena ada beberapa hal yang memperkuat kedudukan fungsi rebab dan kendang dalam gending, antara lain:
1)       Sifat-sifat individu
2)       Menjadi pembimbing terhadap waditra-waditra lain
3)       Keperluan gending itu sendiri yang lebih menonjolkan kendang dan rebab sebagai pendukung utama
4)       Warna-warna yang berbeda dengan alat pukul lain
5)       Kemungkinan-kemungkinan lain alat itu sendiri yang sangat memungkinkan dapat ikut mendukung dalam pagelarannya.

Untuk gending tari dan wayang, begitu pula sekar/vokal, kendang dan rebab sangat terasa dominant sekali. Salah satu cirri dari karawitan tari Sunda telah menonjolkan tepak-tepak kendang dalam mendukung gerak-gerak tari itu, sedangkan rebab banyak dijadikan dasar-dasar lagu dan dijadikan pula patokan dalam tarian yang dibawakan. Pada tari Lalamba akan terasa hambar sekali bila waditra rebab ini tidak ada. Gunung Sari, Gawil, Kawitan adalah nama-nama lagu yang padu dengan nama tarian dan sukar untuk dipisahkan antara lagu dan gerak.

Demikian menonjolnya tepak-tepak kendang dalam tari Sunda klasik, sampai-sampai kendang itu menjadi alat yang terkecuali tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan dalam teknis pagelarannya/pertunjukannya.

e)   Nilai-nilai Tersendiri dalam Motif Tabuh
Lagam gending antar waditra gamelan menjadi suatu komposisi yang padu dalam pagelarannya. Lagam-lagam itu mempunyai motif-motif tabuh secara tersendiri, yang berlainan dengan waditra lain.
Dalam gamelan kita mengenal bermacam-macam tabuh, seperti: Dicaruk, Dikemprang, Dipancer, Digumek, Dicacag dan lain-lain.

Lagam carukan dalam saron, boning, gambang, teknisnya berlainan walaupun ada persamaan-persamaan motif di dalamnya. Perbedaan-perbedaan lagam gending ini membawa bentuk gending Sunda pada cirri-ciri yang mandiri bila dibandingkan dengan gending-gending daerah lain.
Jelasnya gending Sunda didukung oleh melodi yang berlainan lagam, menjadikan suatu paduan dengan jatuh bersamaan pada patokan-patokan kenongan dan goongan.

3.       Fungsi Gending
Dari bebagai bentuk gending, baik yang dibawakan secara individu ataupun secara bersama, maka dapatlah diuraikan fungsinya sebagai berikut:

5.1.  Rasa Kalangenan
Seseorang memainkan alat, lagu yang dibawakan mungkin berpola posisi atau improvisasi semata. Dia memainkan alat itu untuk dirinya sendiri apakah untuk mengisi rasa sepi atau pengisi waktu senggangnya. Itulah salah satu cirri gending sebagai rasa kalangenan. Biasanya alat-alat yang digunakan adalah alat individu. Sebagai contoh, dahulu seorang gembala dengan sulingnya. Dia membawakan lagu untuk mengisi rasa sepi saja. Kalau hal ini dikaitkan pula dengan struktur masyarakat Sunda dahulu yang bermasyarakat huma (lading), kiranya gending kalangenan dapat memberi warna dan cirri dari masyarakat huma/lading itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka berkarawitan; mereka lebih banyak bersifat individu, karena cara kerja seharian, tempat tinggal yang berjauhan dan selalu berpindah-pindah. Dari cara-cara ini dapat memberi gambaran bahwa pengaruh struktur masyarakat Sunda zaman dahulu telah memberi arah-arah kemdandirian dari gending-gending Sunda yang lebih banyak penonjolan sifat-sifat individunya. Di kampung-kampung sebenarnya berkalangenan gending itu masih ada, misalnya dengan gambang, kacapi, taleot, empet-empetan, karinding dan lain sebagainya.

5.2.  Iberan
Secara singkat “iberan” bisa diartikan sebagai pemberitahuan. Lebih jauh iberan mempunyai jangkauan yang lebih luas daripada sifat pemberitahuan itu sendiri, terutama yang berhubungan dengan isyarat-isyarat tertentu. Isyarat-isyarat itu bila diungkapkan oleh gending, biasanya lagu yang dibawakan itu telah mempunyai kebakuan-kebakuan tertentu yang telah terjalin secara khusus. Jalinan itu bisa berorientasi pada dua arah, baik jalinan komposisi daripada lagu/gending itu sendiri maupun jalinan yang berhubungan antara penabuh dan pendengarnya.
Contoh yang sangat sederhana pada kehidupan masyarakat masa lalu di pedesaan pada gending tutunggulan. Tutunggulan pada waktu itu bisa memberikan isyarat bahwa di tempat itu akan ada selamatan. Akan tetapi, tutunggulan itu sendiri bisa memberi isyarat pula bahwa ada gerhana bulan (samagaha-Sunda). Alat yang lebih sedehana lagi, misalnya kentongan (kohkol-Sunda). Dari alat ini, orang-orang yang mendengarnya bisa mengerti tentang isyarat tabuhannya, apakah ada bahaya banjir, kebakaran atau kehilangan sesuatu.

RRI Studio Bandung dengan suling tunggalnya dalam lagam tembang memberikan beberapa isyarat, seperti:
a.        Beberapa saat lagi, siaran akan dimulai;
b.        Memberi identitas daerah terutama untuk para pendengar di luar Jawa barat
c.        Memberi warna khas salah satu alat dan lagu dalam karawitan Sunda.
d.        Lebih jauh lagi dapat kita dengar gending lagu Palwa. Palwa sebagai cirri akan dimulainya warta berita dalam bahasa Sunda atau gending Calung untuk siaran pedesaan.

Pada gending tatalu, kiranya isyarat-isyarat itu lebih banyak lagi maksudnya, terutama pada tatalu pagelaran wayang golek. Selain dari fungsinya menarik penonton untuk berkumpul atau tahap-tahap akan dimulainya pagelaran itu sendiri, pada beberapa pergantian lagu secara langsung mengingatkan sang dalang untuk bersiapsiap tampil ke pentas. “Ki Dalang” harus sudah mengerti bahwa pada lagu tertentu harus keluar dan bergabung dengan para nayaga. Apabila lagu itu selesai dengan cempala dan kecreknya dalang memberi isyarat untuk memulai pagelaran wayang golek dan penonton pun dengan riangnya menyambut gembira dimulainya pagelaran.

Pada pagelaran Degung, Lagu Jipang Lontang sering dipakai sebagai lagu pembukaan dang ending jiro dipergunakan sebagai gending penutup pagelarannya. Menurut para orang tua, dahulu ada gending khusus untuk menyambut para pembesar Negara. Dengan spontan masyarakat mengerti dan memberikan hormatnya seiring dengan suasana lagu itu.

Pada perkembangan sekarang, kiranya gending-gending itu telah berkembang untuk promosi dagang. Orang-orang sudah mengerti apabila mendengar melodi tertentu dari sebuah siaran radio atau TV bahwa yang dimaksud adalah mempromosikan barang tertentu. Hal ini terutama pada musik dan khusus untuk karawitan Sunda hal ini terasa masih jarang sekali. Jadi, gending iberan, merupakan bahasa musik yang mengisyaratkan maksud-maksud tertentu pada komposisinya yang telah mempunyai nilai-nilai kebakuan dalam masyarakat pendukungnya. Ritme, lagu dan tempo masing-masing ikut berbicara menuangkan kedalaman maksud yang terkandung dalam isyarat itu.

5.3.  Penghantar Upacara
Fungsi gending di sini sangat erat bertalian dengan pelaksanaan upacara yang dilaksanakan. Sebagai contoh gending-gending pada Tarawangsa dan Jentreng di Rancakalong Sumedang, merupakan suatu kesatuan dalam upacara “nginepkeun pare”. Demikian pula fungsi gamelan dang ending pada Ajeng dalam upacara pesta laut di pesisir utara Jawa Barat. Demikian lekatnya perpaduan itu sehingga baik alat maupun lagu gending tidak bisa diganti dengan alat-alat lain di luar waditra-waditra itu. Ungkapan contoh di atas merupakan secuil kehidupan karawitan Sunda yang masih erat dengan pertalian upacara yang berhubungan dengan alat atau tradisi. Contoh lain untuk mendukung upacara-upacara yang sacral, tetapi pada perkembangannya sudah jarang ditemukan, yaitu fungsi Gong Renteng dalam perayaan Mauludan, kesenian Buncis pada upacara ngaseuk dan lain-lain.

Untuk tidak mengacaukan pengertian upacara-upacara yang berhubungan dengan adapt atau tradisi, dimana kebakuan alat dan lagu telah menjadi suatu kesatuan yang terpadu, hendaknya pengertian upacara itu dipisahkan dengan pengertian upacara khusus sebagai materi seni perkembangan sekarang. Pengertian upacara khusus sekarang merupakan kreasi materi seni yang biasanya bertolak dari upacara yang baku atau mendekatkan suasana pada upacara yang akan berlangsung. Sebagai contoh, upacara khusus “mapag panganten”, pengolahan sekar dang ending banyak berorientasi pada kebakuan, tetapi disana-sini mendapat penataan kembali dalam bentuk kreasi baru. Pendekatan suasana pada upacara yang akan berlangsung, misalnya pada upacara-upacara peresmian sesuatu yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan. Baik jalan upacara, apalagi gending-gendingnya selain mengambil bentuk tradisi juga ditambah dengan olahan baru. Jelas hantaran gending pada upacara seperti ini tidak mutlak harus dibawakan oleh alat itu saja, sewaktu-waktu bisa dengan alat lain. Iniulah perbedaan yang jelas apabila dibandingkan dengan upacara-upacara yang bersifat adapt atau tradisi, di mana fungsi gending dan alatnya sangat lekat terpadu dengan jalannya upacara.

5.4.  Pengiring/Pririgan
Seperti diketahui bersama, salah satu fungsi gending adalah untuk mengiringi. Dalam kehidupan karawitan Sunda, diketahui pula bahwa gending biasa dipergunakan untuk pengiring sekar/vokal, tari, teater daerah, dan sebagainya.
Untuk Sekar bisa digunakan iringan gamelan pelog-salendro, gamelan degung, kacapi, angklung, calung dan lain-lain. Begitu pula pergelaran tari, lebih banyak digunakan gamelan pelog-salendro dan sekali-kali menggunakan gamelan degung. Namun, pada perkembangan sekarang banyak koreografer-koreografer memanfaatkan waditra lain untuk mengiringi tariannya, misalnya instrument kacapi, suling dan waditra-waditra lainnya.

Dalam mengiringi pergelaran wayang, iringannya menggunakan gamelan, yaitu untuk wayang golek purwa menggunakan gamelan pelog-salendro, wayang pakuan dengan gamelan degung, wayang cepak gaya Priangan dengan gamelan pelog dan wayang pantun dengan gamelan salendro (dimana dalam pergelarannya dipakai juga waditra kacapi dengan laras degung)

5.5.  Pemberi Suasana
Kehadiran gending terasa dibutuhkan, misalnya pada penerimaan tamu atau mengisi kesenggangan dalam keadaan yang santai. Kita mendengar ada musik pagi,, musik siang hari, musik malam, inilah pemberi suasana dari kehadiran gending. Bentuk lagunya kebanyakan dibawakan secara instrumentalia/gendingan dan lagu-lagunya disesuaikan pula dengan keadaan waktunya sehingga terasa ada jalinan suasana antara waktu dan lagu.

Perkembangan lain beranjak pada pembacaan puisi, gending berfungsi sebagai ilustrasi. Di samping itu, terasa adanya suasana yang akrab antara pembaca puisi dan lagu. Apalagi apabila puisi berbahasa daerah, kemudian karawitan menjadi pendamping suasananya, terasa kepaduan itu terjalin dengan harmonis.

Secara tidak disengaja, banyak pula orang yang akan tidur mudah terlena apabila mendengar kacapi suling Cianjuyran. Mungkin saja hal disebabkan oleh lagunya yang melankolis, tetapi dari segi lain kita dapat merasakan bahwa warna kacapi suling (terutama dalam tembang) suasananya sangat erat sekali mendukung suasana malam.

5.6. Pengungkap Ceritra
Apabila sebuah ceritera diungkapkan melalui bahasa atau dari bahasa diungkapkan lagi dalam sekar sudah menjadi hal yang biasa.  Sebagai contoh dalam Gending Karesmen telah kita dapati. Tetapi apabila jalinan cerita itu diungkapkan dalam komposisi gending hal itu masih merupakan barang langka dalam perkembangan karawitan Sunda. Padahal, sebenarnya lagu-lagu degung instrumental pada zaman dahulu sudah merupakan dasar-dasar kuat dalam bentuk ini.

Di dunia musik, telah banyak dikenal musik programa yang banyak mengungkapkan ide ceritera dalam sebuah komposisi yang besar. Sifat dari bentuk ini merupakan musik total, artinya ungkapan secara penuh diformulasikan untuk musik tanpa kehadiran kata di dalamnya.

Kreasi baru dalam karawitan Sunda dalam mengungkapkan ceritra dalam gending, diawali dengan gending “Hujan Munggaran” karya Mang Koko pada tahun 1967, yang kemudian diangkat ke dalam tari oleh Enoch Atmadibrata. Perkembangan setelah itu pada tahun 1976 dengan judul “Simpay Galindeng Tineung” karya Nano. S dan disambung pada tahun 1979 dengan Karawitan Gending Sangkuriang yang sekaligus merupakan wakil Jawa Barat dalam Pekan Komponis Muda I di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Kekhususan dari karawitan gending seperti yang diungkapkan melalui alat-alat karawitan; pendengar betul-betul diajak berbicara dan berinterpretasi dalam nada-nada waditra dengan keanekaan warna dan larasnya. Warna suara, laras dan berbagai surupannya, demikian pula dengan tempo dan ritme berbicara mengungkapkan isi cerita yang diketengahkan. Pendengar dituntut daya interpretasi dan imajinasinya dalam mencerna ungkapan lagu yang dituangkan dari karawitan gending.

Dengan demikian jelaslah bahwa fungsi gending di sini sebagai pengungkap interpretasi cerita yang dikomposisikan secara khusus menurut gaya dan citra si seniman itu sendiri. Mengenai interpretasi penonton atau pendengar pada karya cipta ini mungkin saja berbeda-beda dan apabila terjadi hal seperti ini, sang komponis tidak akan mempersoalkannya karena telah demikianlah adanya, di mana ia telah menyusun berdasarkan interpretasi dirinya melalui liku nada dan melodinya.


Senin, 26 Mei 2014

Ngalah

Ngalah

19 Mei 2014 pukul 11:02
Cip : #Edi_Laras
Voc: #Gilang_Sanjaya


Awang-awang mega mendhung ojo susah, aja gawe bingung
Aku kang nandhang wuyung marang sapa nggonku jaluk tulung

Ora nyana, ora ngimpi
jebule wis ana sing duweni, nadyan sajroning ati trisna iki setengah mati


Reff : Ning saikine aku wis rumangsa dhewe
        
        aku kudu nerima kasunyatan samestine
    
 Timbang mbesuke gawe kuciwa slirane
 becik ngalah wae, yen pancen dudu jodhone

      Tak upaya rinten dalu
    muga bisa nglilake sliramu mung wae payuwunku
  tansah rukun tentrem rahayu.

Selasa, 04 Maret 2014

Artikel Penanggalan Sengkalan

Artikel Penanggalan Sengkalan

25 Juli 2013 pukul 23:45
TEMBUNG “sengkalan” asalé saka tembung “saka” lan “kala”
Saka utawa çaka iku jenengé bangsa Indhu, kala utawa kala ateges wektu.
Sakakala yaiku kalané ana ratu golongan çaka kang jumeneng ing tanah Indhu sisih kidul, lan wektu iku wiwitan\é tahun saka, yaiku taun 1 utawa taun 78 masèhi.
Mungguh kang dikarepaké “sengkalan”, yaiku unèn unèn kang nduwèni teges angkaning taun.
Jaman biyèn kang kanggo pétungan ing Tanah Jawa taun Saka.
Nanging saiki ana kang migunakaké taun rembulan, yaiku kang pétungan sasiné manut lakuning rembulan, diarani: “Candrasengkala”.
Sengkala kang adhedhasar taun srengéngé, diarani: “Suryasengkala”

Adhedhasar wujud lan dhapukané, sengkalan ana warna loro;

1. Sengkalan lamba,
    yaiku sengkalan kang awujud kumpulaning tembung utawa wujud
    ukara.

2. Sengkalan memet,
    yaiku sengkalan kang awujud gegambaran utawa pepethan.

Mungguh carané nyurasa utawa maca sengkalan iku kawiwitan saka ékané, banjur dasan, yèn ana atusan lan éwoné.
Tuladha :          Rupa sirna retuning rumi

Rupa    = 1 (ékan)

sirna     = 0 (dasan)

retu      = 6 (atusan)

bumi    = 1 (éwon)       dadi taun : 1601

Mungguh carané nggoléki aji utawa wataking tembung miturut Candra Sangkala karangané Ki Bratakésawa, kena migunakaké wewaton sawetara, yaiku:

1. Guru Dasa nama,
    Tembung tembung kang padha tegesé dianggep padha ajiné.
    Tembung: ratu, naréndra, nata, katong, pamasé, aji, iki kabèh watak
    siji.

2. Guru sastra,
    Tembung tembung kang sastrané utawa panulisé padha, ajining uga
    padha.
    Tembung: êsthi, kang ateges gajah, èsthi kang ateges sedya utawa
     pikir ajiné padha yaiku: wolu.

3. Guru wanda,
    Tembung tembung nduwèni wanda kang padha, ajiné dianggep padha.
    Tembung: wanita, ajiné padha karo tembung wani, tembung buja ajiné
     padha karo tembung bujana, lsp.

4. Guru warga,
    Tembung tembung kang mratélakaké jeneng kang nunggal bangsa
     utawa warga, ajiné padha, kayata: ula, baya, bulus, tekèk, cecak,
     kadhal iku kabèh kalebu kéwan ingkang rumangkang, dadi padha
     ajiné, yaiku: wolu.

5. Guru karya,
    Tanduking sawijining tembung, kaanggep padha ajiné karo tembung
     iku.
     Kayata : tangan ajiné padha karo nyekel, mripat padha ajiné karo
     tembung ndeleng utama mandeng, lsp.

6. Guru sarana,
    Jenengé piranti kang kanggo nindakaké sawijining kriyané, kaanggep
     padha ajiné karo tembung iku.   
     Kayata : ilat karo rasa, padha ajiné yaiku nenem.

7. Guru darwa,
    Tembung kaanan, kaanggep padha ajiné karo tembung kang
     kadunungan kaanan iku.
     Kayata : tembung galak padha ajiné karo tembung danawa, bentèr
     padha karo latu, lsp.

8. Guru Jarwa,
    Tembung tembung kang jarwané padha utawa mèh padha ajine uga
     padha.
    Tembung rasa padha karo raras, basu padha karo sawer, lsp.

Tembung tembung kang dianggep nduwèni watak utawa ajining wilangan:

I. Kang awatak siji.
 
 1. Tembung tembung kang cacahé mung siji:
        nabi, wudel, bumi, buntut, iku, sirah, ratu, aji, nata, wiji, ati, tyas,
        badan, lsp.
 
 2. Tembung tembung araning barang kang wanguné bunder:
       rembulan, bumi, jagad, rupa, srengéngé, rai, lèk, candra, wulan, lsp.
  
3. Tembung tembung kang ateges siji:
        tunggal, éka, iji, juga, lsp.
  
4. Tembung tembung liyane:
        urip, gusti, janma, kenya, prawan, nyata, putra, sunu, lsp.

II. Kang awatak  loro:
   
1. Tembung tembung kang cacahé loro:
        mripat, kuping, tangan, asta, suku, dresthi, buja, athi athi, swiwi,
        lsp.
   
2. Tembung tembung kang nuduhaké kriyané tembung ing ndhuwur:
        ndeleng, ngrungu, ndulu, nembah, myat, lsp.
  
 3. Tembung tembung kang teges loro:
        dwi, kalih, lsp.
   
4. Tembung tembung liyané:
        gandhèng, kanthi, kanthèt, lsp.

III. Kang awatak telu:
  
 1. Kang nduwèni sesipatan telu:
        geni, bahni, pawaka, siking, dahana, anala, utawaka, puji, lsp.
  
 2. Tembung tembung kang kanggo wanda tri utawa teges telu:
        mantri, tiga, hantelu, lsp.
   
3. Tembung tembung: ula, lintah, ujel, welut, nalincing, lir, kaya,
         wignya, wrin, guna, kukus, panas, lsp.

IV. Kang Awatak papat:
   
1. Bangsané banyu utawa kang ngemu banyu:
        hèr, sindang, suci, tirta, wédang, bun, udan, sagara, waudadi,
        jalanidhi, bening, nadi, sumber, sumur, wasuh, lsp.
  
 2. Tembung kang ateges papat, catur, pat, lsp.
  
 3. Tembung kang ateges gawé: karta, karya, kirti, lsp.

V. Kang awatak lima:
  
 1. Araning barang kang cacah lima: indri, indriya, dhawa, lsp.
  
 2. Bangsané buta: danawa, jaksa, diyu, wil, raseksa, lsp.
  
 3. Bangsané gegaman: panah, warajang, bana, sara, lsp.

  4. Bangsané angin: bayu, samirana, maruta, anila, sindung, lsp.
 
  5. Tembung tembung liyané: wisikan, wisaya, pancawara, lungit,
        landhep, galak, lsp.
 
  6. Tembung kang teges lima: gangsal, panca, lsp.

VI. Kang awatak enem:

 
  1. Tembung tembung kang mratélakaké rasa: pedhes, amla, kecut,
         tikta, pait, kyasa, gurih, dura, asin, legi, lsp.
   
2. Tembung tembung kang nduwèni sipat kang gegayuhan tembung
         tembung ing ndhuwur : gendhis, gula, uyah, lsp.
  
 3. Tembung tembung jeneng kéwan kang asikil enem: tawon, bramara,
         kombang, anggang anggang semut, lsp.
  
 4. Tembung tembung liyané: raras, retu, ojag, obah, prabatang,
         wayang, sedhih, ilat, kilat, lsp.

VII. Kang awatak pitu:

   
1. Bangsané kang amaratapa: wiku, biksu, resi, dwija, dhita,
         yogiswara, muni, suyati.
  
 2. Dasanamané jaran: kuda, wajik, aswa, turangga, lsp.
  
 3. Dasanamané gunung: ardi, prawata, giri, ancala, wukir, lsp.
   
4. Tembung tembung liyané: angsa, gora, swara, wulang, weling,
         sabda, suka, lsp.

VIII. Kang awatak wolu:
   
1. Tembung tembung kang kagolong kéwan rumangkang: baya, bajul,
         slira, menyawak, tanu, bunglon, murti, basu, tekèk, cecak, ula, naga,
         bujangga, taksaka, lsp.
  
 2. Dasnananing gajah: dwipangga, liman, èsthi, dirada, matengga,
        kunjara, lsp.
 
  3. Tembung tembung liyané: samadya, brahman, manggala, lsp.

IX. Kang awatak sanga:
  
 1. Barang barang kang wujudé bolong: gapura, guwa, dwara, wiwara,
         gatra, wilasita, rong, trusta, trusthi, song, babahan, lsp.
   
2. Tembung tembung liyané: ganda muka, butul, déwa, ambuka,
         wangi, lsp.

X. Kang awatak sapuluh utawa das:
   
1. Yaiku tembung tembung kang ngemu teges ora ana utawa suwung:
         sunya, boma, gegana, wijat, nir, tanpa, ilang, mletik, sirna, musna,
         adoh, antariksa, rusak, luhur, dhuwur, muksa, ngumbara, muluk,
         mumbul, das, awang awang, angles, méntar, oncat, asat, surut,
         sempal, tumenga, mesat, lsp.

A. Sengkalan Lamba.

Kang diarani sengkalan lamba yaiku sengkalan kang awujud ukara
utawa kumpulaning tembung, sengkalan lamba kang akèh tinemu ing
layang layang.
Ana manèh kang tinemu ing yayasan, pasareyan, padusan, gapura, lsp.
Tuladha:

1. Yama sunya surya = taun 1202.

2. Sapta yana surya = taun 1217.

3. Indu bana dwi rupa = taun 1254.

4. Dwi gaya rawi = taun 1282.

5. Dwara adri pana indu = taun 1279.

6. Sanga kuda cuddha candrama = taun 1079.
    Tinemu ing layang Bharatayudha – Mpu sedhah – Mpu Panuluh.

7. Panerus tingal tataning nabi = tahun 1529
    Tinemu ing layang Suluk Wujil – Sunan Bonang.

B. Sengkala Memet.

1. Ing Tratagrambat kraton Ngayohyakarta sisih lor ana gambar tawon
    cacahé lima lan slira (menyawak) siji, iku kena diwaca :
    Panca gana salira tunggal = taun 1865.

2. Ing magangan kraton Ngayogyakarta, ana pepethan wujud ula naga
    loro, pethité padha pepuletan, iku kena diwaca: Dwi naga ngrasa
    tunggal = tahun 1682.

3. Ing kratosn Surakarta ana pepethan naga kang ditumpaki manungsa,
    iku kena diwaca: Naga muluk tinitihan janma = taun 1708.
    Ana uga warana kang digawé saka walulang kebo kang direngga
    rengga, iku kena diwaca: Walulang kebo siji utawa Wolu ilang
    kebo siji = taun 1708

4. Ana pepethan wujdé bunderan pepindhaning jagad kang dicekeli
    déning buta cacahé telu, iku kena diwaca : Buta telu ngojag jagad
    utawa Tri jaksa ngojag buwana = taun 1635.

5. Ana gegambaran wujud sula cacahé telu lan ing tengah ana gambar
    kembang, iku kena diwaca : Tri sula kembang lata = taun 1953,

C. Pangrakiting ukara.
Tembung sapada kudu kaangkah mujudaké ukara wutuh, isi pangertèn
ganep.
Aja nganti wujud ukara kang durung rampung.
Manawa gatra wekasan isih kudu disambung ukara ing pada candhaké
ana ing rasa ora kepénak.
Tembung kang becik, saben sagatra kudu mengku surasa wutuh, lan
rakitaning gatra siji lan sijiné dalem tembang sapada, mengku
isi wutuh.
Manawa arep ngarang tembang sadurungé prelu ngélingi prakara
prakara kang prelu,
Kayata:

1. Prelu migatèkaké dasanamaning tembung tembung.
    Upama tembung: ratu iku duwé dasanama: katong, nata, narpati,
     pamasé, dhatu, raja, aji, lsp.
     Iku prelu banget kanggo nemtokaké tibaning swara ing
     pungkasaning gatra.

2. Kena ngowahi susunaning ukara, lumrah kasebut baliswara.
    Tuladha : Anoman sampun malumpat, diowahi: Anoman malumpat
     sampun.

3. Kena ngowahi swara, kayata:
    brangta     dadi karti
    prapta       dadi prapti
    brangta     dadi brangti
    marang     dadi maring
    dipati        dadi dipatya, lsp.

Kanggo ngoyak guru wilangan:

1. Kena ngulur utawa ngungkret wanda:
    sru            dadi asru
    prang        dadi perang
    tan            dadi datan
    trus           dadi terus
    lumaku      dadi mlaku
    gelebyar   dadi glebyar
    kerelip      dadi krelip
    sinerang   dadi sinrang, lsp.

2. Kena mancah tembung:
    puniku      dadi niku
    pijer         dadi jer
    déné         dadi dé
    ingkang    dadi kang

3. Kena nggarba tembung loro utawa luwih:
    ana            + ing    dadi anèng
    lagi           + antuk dadi lagyantuk
    kadya        + iku dadi kadyèku
    sira           + arsa dadi sirarsa.