Jumat, 04 Juli 2014

Tari Gambuh

TARI GAMBUH 
BUKAN SEKEDAR TARI KEPRAJURITAN

Di wilayah Kabupaten Sumenep, kota paling ujung dari pulau Madura pernah hidup tari Gambuh yang mirip dengan tari keprajuritan.  Dalam ragam gerak tari di bagian akhir terdapat ragam gerak tari yang menggambarkan prajurit sedang berlatih gladi keprajuritan.
Para penari menggunakan property dalam bentuk tameng kecil yang dikenakan pada punggung tangan, pada tameng tersebut dihias ornamen yang terbuat dari bahan cermin, cermin yang memantulkana sinar ini sebagai salah satu senjata untuk melindungi diri dari serangan musuh serta untuk membantu mengelabuhi pandangan musuh.
Dalam penyajian tari Gambuh diperagakan oleh empat penari laki-laki dalam posisi di empat titik sudut.
Supakrah (almarhum) memberikan penjelasan bahwa komposisi penari yang dilakukan oleh empat penari berdasarkan empat kiblat yaitu gambaran empat arah mata angin, barat-timur-utara-selatan, sedangkan di bagian tengah merupakan titik bayangan yang disebut sebagai titik kelima yang tidak ada penarinya tetapi perlu diketahui oleh para penari bahwa di titik bayangan tersebut sebagai mata hati, komposisi ini disebut sebagai keblat papat lima pancer, yang disebut pancer adalah titik bayangan yang ada di tengah (Sumenep,1985).
Teknik pernafasan yang digunakan oleh para penari menggunakan pernafasan 1-1 yang dilakukan dengan cara menghirup udara melalui salah satu sisi lubang hidung, ditampung di perut kemudian dihembuskan melalui sisi lubang hidung lainnya.   Pengaturan nafas ini diuapayakan bisa mengalir dengan sendirinya secara alami mengikuti gerak tubuh dengan tanpa paksaan.
Lintasan penari yang selalu dilakukan kearah kanan merupakan simbol perputaran bumi serta simbol dari perjalanan darah pada tubuh manusia, sedangkan gerakan kaki lebih dominan pada  perpindahan telapak kaki bergerak merapat lantai, hal ini dilakukan sebagai transformasi energi bumi kedalam tubuh manusia.
Dalam pertunjukan wayang topeng Madura pada grup Rukun Perawas pimpinan Supakrah (almarhum), tari Gambuh ini disajikan pada bagian awal.
Tata busana terdiri dari celana-sembong-stagen-sabuk timang- kace-polsdeker-klat bahu-ikat kepala-gongseng-keris-tameng kecil berdiameter kurang lebih 15 centimeter.
Dalam tata busana tersebut ada semacam hiasan kain yang diselipkan pada stagen berwarna putih-merah-hijau-kuning.  Putih sebagai simbol kesucian, merah sebagai simbol keberanian, hijau sebagai simbol kesuburan, kuning sebagai simbol ketulusan. 
Pada tahun 1990-an Taufiqurachman salah seorang Seniman tari Sumenep pernah menggarap tari Gambuh dengan menggunakan senjata keris serta diinterpretasikan sebagai tarian penyambutan tamu di keraton Sumenep. 
Dalam periode tahun 2000 ini muncul pula penggarapan tari Gambuh  dalam bentuk yang lain dengan nama Gambuh Pamungkas yang lebih mengacu pada upaya mencari model penyajian yang lain dari sebelumnya.
.


TOPENG KLANA GUNUNGSARI - PATRAJAYA

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiA6RkUJHlhhyphenhyphenJk760qmFjcvxvL99Ss3gkWBvBqMqsDgyyeDQgiJwbEMtPQ28GjjytiR_w6TXFiH3oBnHfzldh885aWtOZgj40nxw_72rNLZihxZRLcLtNXmV_UdGZIMWADNUzONO9q1HU/s320/Klana+Gunungsari-Patrajaya+%2528edit%2529.jpg
KLANA GUNUNGSARI DAN PATRAJAYA SIMBOL KEHRMONISAN DUA INSAN MANUSIA.
Pertunjukan wayang topeng di wilayah Malang, peran Klana Gunungsari dan Patrajaya merupakan dua peran yang mencerminkan sepasang insan manusia dari tingkatan sosial yang berbeda tetapi mempunyai hubungan yang harmonis.
Topeng Klana Gunungsari adalah seorang satriya putra raja Kerajaan Jenggala Manik yang digambarkan dalam wajah berwarna putih, berekspresi ceria.
Topeng Patrajaya adalah seorang abdi yang dengan setianya mendampingi Klana Gunungsari dalam berbagai keadaan suka maupun duka.  Topeng Patrajaya digambarkan dalam wajah berwarna putih dengan motif ukiran yang sangat sederhana, mulut bagian bawah ditiadakan sehingga pada waktu penari mengenakan topeng ini maka mulut bagian bawah (dagu asli) penari nampak.
Pola penyajian Klana Gunungsari-Patrajaya diawali dengan penampilan Patrajaya kemudian baru diikuti oleh Klana Gunungsari.
Ragam gerak tari Patrajaya bermotifkan sederhana, lucu, mendekati gerak-gerik keseharian dan diiringi gending gecul (lucu) dan ceria, misalnya gending ijo-ijo.
Ragam gerak tari Klana Gunungsari sudah terpola secara koreografis dan diiringi dengan gending Pedhat.  Beberapa gerak tari Klana Gunungsari antara lain : bukak keber - nyirig - medar malang - kencak - marakseba - gobesan.   Pada saat musik iringan berganti dengan gending Kaloirig beberapa ragam gerak tari bermotifkan kehidupan alam lingkungan antara lain: biyada mususi - leg-leg - tikus ngungak salang - merak keder - miyak glagah.  
Seluruh peran dalam wayang topeng di wilayah Malang ini tidak ada yang bicara kecuali Patrajaya, topeng-topeng yang lain dialognya dilakukan oleh sang Dalang.
Dalam dialog antara Klana Gunungsari dengan Patrajaya tersirat gambaran tentang keharmonisan komunikasi antara raja dan masyarakatnya.
Berbagai penelitian menginformasikan bahwa dalam buku Pararaton yang ditulis pada abad XIII meneriterakan bahwa pada pemerintahan Hayam Wuruk, Hayam Wuruk menarikan Klana Gunungsari untuk dapat berdekatan dengan masyarakat, untuk menginformasikan hal penting dari kerajaan maupun memberikan tauladan.
Dalam berbagai situasi Patrajaya sering memberikan nasehat, mengingatkan maupun memberikan masukan tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh Klana Gunungsari dalam menghadapi permasalahan