Filosofi Topeng Cirebon
15 Desember 2013 pukul 13:03
SUDAH
lama tari Topeng Cirebon mengundang tanda tanya akibat daya pesonanya
yang tinggi, tidak saja di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Tari
Panji, yang merupakan tarian pertama dalam rangkaian Topeng Cirebon,
adalah sebuah misterium. Sampai sekarang belum ada koreografer
Indonesia yang mampu menciptakan tarian serupa untuk menandinginya.
Tarian Panji seolah-olah “tidak menari”. Justru karena tariannya tidak
spektakuler, maka ia merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara
hakiki gerak dan hakiki diam. Bagi mereka yang kurang peka dalam
pengalaman seni, tarian ini akan membosankan. Tarian kok tidak banyak
gerak? Bukankah hakikat tari itu memang gerak (tubuh)?
Inilah
teka-teki Tarian Panji dalam Topeng Cirebon. Bagaimana penduduk desa
mampu menciptakan tarian semacam itu? Penduduk desa yang tersebar di
sekitar Cirebon hanyalah pewaris dan bukan penciptanya. Penduduk desa
ini adalah juga penerus dari para penari Keraton Cirebon yang dahulu
memeliharanya. Ketika Raja-raja Cirebon diberi status “pegawai” oleh
Gubernur Jenderal Daendels, dan tidak diperkenankan memerintah secara
otonom lagi, maka sumber dana untuk memelihara semua kesenian Keraton
tidak dimungkinkan lagi. Para abdi dalem Keraton terpaksa dibatasi
sampai yang amat diperlukan sesuai dengan “gaji” yang diterima Raja
dari Pemerintah Hindia Belanda.
Begitulah penari-penari dan
penabuh gamelan Keraton harus mencari sumber hidupnya di rakyat
pedesaan. Topeng Cirebon yang semula berpusat di Keraton-keraton, kini
tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan. Dan seperti umumnya
kesenian rakyat, maka Topeng Cirebon juga dengan cepat mengalami
transformasi-transformasi. Proses transformasi itu berakhir dengan
keadaannya yang sekarang, yakni berkembangnya berbagai “gaya” Topeng
Cirebon, seperti Losari, Selangit, Kreo, Palimanan dan lain-lain.
Untuk
merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang baku, diperlukan studi
perbandingan seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon tadi harus
diperbandingkan satu sama lain sehingga tercapai pola dan strukturnya
yang mendasarinya. Dengan metode demikian, maka akan kita peroleh
bentuk yang mendekati “aslinya”. Namun metode ini tak dapat dilakukan
tanpa berbekal dasar filosofi tariannya.
Dari mana filsafat tari
Topeng Cirebon itu dapat dipastikan? Tentu saja dari serpihan-serpihan
tarian yang sekarang ada dan dipadukan dengan konteks budaya munculnya
tarian tersebut. Konteks budaya Topeng Cirebon tentu tidak dapat
dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri yang sekarang. Untuk itu
diperlukan penelusuran historis terhadapnya.
Siapakah Empu
pencipta tarian ini? Sampai kiamat pun kita tak akan mengetahuinya,
lantaran masyarakat Indonesia lama tidak akrab dengan budaya tulis.
Meskipun budaya tulis dikenal di Keraton-keraton Indonesia, tetapi
tidak terdapat kebiasaan mencatat pencipta-pencipta kesenian, kecuali
dalam beberapa karya sastranya saja.
Di zaman mana?
Kalau
pencipta tidak dikenal, sekurang-kurangnya di zaman mana Topeng Cirebon
ini telah ada? Kepastian tentang ini tidak ada. Namun ada dugaan bahwa
di zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian ini sudah dikenal. Dalam
Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja ini menari topeng (kedok)
yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas (atapel,
anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Jadi Tari topeng
Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja dengan penonton perempuan
(istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja,
ibu mertua raja, ibunda raja).
Dengan demikian dapat diduga bahwa
Topeng Cirebon ini sudah populer di zaman Majapahit antara tahun 1300
sampai 1400 tarikh Masehi. Mencari dasar filosofi tarian ini harus
dikembalikan pada sistem kepercayaan Hindu-Budha-Jawa zaman Majapahit.
Tetapi mengapa sampai di Keraton Cirebon? Setelah jatuhnya kerajaan
Majapahit (1525), tarian ini rupanya dihidupkan oleh Sultan-sultan
Demak yang mungkin mengagumi tarian ini atau memang dibutuhkan dalam
kerangka konsep kekuasaan yang tetap spiritual. Dalam babad dikisahkan
bahwa Raden Patah menari Klana di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja
Majapahit, Brawijaya. Ini justru membuktikan bahwa Topeng Cirebon erat
hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa. Bahwa hanya Raja yang
berkuasa dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan oleh babad, yang
berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden Patah, dan Raja
Majapahit hanya sebagai penonton.
Dari Demak tarian ini terbawa
bersama penyebaran pengaruh politik Demak. Demak yang pesisir ini
memperluas pengaruh kekuasaan dan Islamisasinya di seluruh daerah
pesisir Jawa, yang ke arah barat sampai di Keraton Cirebon dan Keraton
Banten. Inilah sebabnya berita-berita Belanda menyebutkan keberadaan
tarian in di Istana Banten. Banten dan Cirebon, sedikit banyak membawa
kebudayaan Jawa-Demak, terbukti dari penggunaan bahasa Jawa lamanya.
Sedangkan Demak sendiri dilanjutkan oleh Pajang yang berada di
pedalaman, kemudian digantikan oleh Mataram yang juga di pedalaman.
Topeng
Majapahit ini, dengan demikian, hanya hidup di daerah pesisir Jawa
Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak hidup kecuali bentuk
dramatik lakon Panjinya. Kalau topeng tetap hidup dalam fungsi
ritualnya, tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan Islam Jawa
pedalaman. Rupanya topeng dipelihara di Jawa Barat karena pesona
seninya. Topeng sangat puitik dan kurang mengacu pada mitologi Panji
yang hinduistik. Topeng lebih dilihat sebagai simbol yang mengacu pada
realitas transenden. Inilah sebabnya sultan-sultan di Jawa Barat yang
kuat Islamnya masih memelihara kesenian ini.
Topeng Cirebon adalah
simbol penciptaan semesta yang berdasarkan sistem kepercayaan
Indonesia purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli, di
mana pun di Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah emanasi. Paham
emanasi ini diperkaya dengan kepercayaan Hindu dan Budha. Paham emanasi
tidak membedakan Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan adalah bagian
atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.
Siapakah Sang Hyang
Tunggal itu? Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam diriNya adalah
ketunggalan mutlak. Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan. Semesta
itu suatu aneka, keberagaman. Dan keanekan itu terdiri dari pasangan
sifat-sifat yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi.
Pemahaman ini umum di seluruh Indonesia purba, bahkan di Asia Tenggara
dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf Yunani pra-Sokrates, filsuf-filsuf alam,
juga mengenal pemahaman ini. Boleh dikatakan, pandangan bahwa segala
sesuatu ini terdiri dari pasangan kembar yang saling bertentangan
tetapi merupakan pasangan, adalah universal manusia purba.
Mengandung semua sifat ciptaan
Sang
Hyang Tunggal Indonesia purba ini mengandung semua sifat ciptaan.
Karena semua sifat yang dikenal manusia itu saling bertentangan, maka
dalam diri Sang Hyang Tunggal semua pasangan oposisi kembar tadi hadir
dalam keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu
dengan sifat-sifat negatif. Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal
manusia berada secara seimbang dalam diriNya sehingga Sifat itu tidak
dikenal manusia alias Kosong mutlak. Paradoksnya justru Kosong itu
Kepenuhan sejati karena Dia mengandung semua sifat yang ada. Kosong itu
Penuh, Penuh itu Kosong, itulah Sang Hyang Tunggal itu. Di dalamNya
tiak ada perbedaan, tunggal mutlak. Di Cina purba, Sang Hyang Tunggal
ini disebut Tao.
Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula
Sang Hyang Tunggal ini memecahkan diriNya dalam pasangan-pasangan
kembar saling bertentangan itu, seperti terang dan gelap, lelaki dan
perempuan, daratan dan laut. Dalam tarian ini digambarkan lewat tari
Panji, yakni tarian yang pertama. Tarian Panji ini merupakan
masterpiece rangkaian lima tarian topeng Cirebon. Tarian Panji justru
merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa transformasi Sang Hyang
Tunggal menjadi semesta. Dari yang tunggal belah menjadi yang aneka
dalam pasangan-pasangan.
Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat
kita kenali secara pasti apakah itu perwujudan lelaki atau perempuan.
Apakah gerak-geriknya lelaki atau perempuan. Kedoknya sama sekali putih
bersih tanpa hiasan, itulah Kosong. Gerak-gerak tariannya amat minim,
namun iringan gamelannya gemuruh. Itulah wujud paradoks antara gerak
dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah paradoks. Inilah kegeniusan
para empu purba itu, bagaimana menghadirkan Hyang Tunggal dalam
transformasinya menjadi aneka, dari ketidakberbedaan menjadi
perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah
terjemahan dari proses pembedaan itu.
Empat tarian sisanya adalah
perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal tadi. Sang Hyang Tunggal membagi
diriNya ke dalam dua pasangan yang saling bertentangan, yakni
“Pamindo-Rumyang”, dan “Patih-Klana”. Inilah sebabnya kedok
“Pamindo-Rumyang” berwarna cerah, sedangkan “Patih-Klana” berwarna
gelap (merah tua).
Gerak tari “Pamindo-Rumyang” halus
keperempuan-perempuanan, sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian.
Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak “dalam” (istri dan adik ipar Panji)
dan Patih-Klana menggambarkan pihak “luar”. Terang dapat berarti siang,
gelap dapat berarti malam. Matahari dan bulan. Tetapi harus diingat
bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi
dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat
tarian setelah Panji mengandung unsur-unsur tarian Panji. Untuk hal
ini orang-orang tari tentu lebih fasih menjelaskannya.
Topeng
Panji menyimbolkan peristiwa besar universal, yakni terciptanya alam
semesta beserta manusia ini pada awal mulanya. Topeng Panjing atau
topeng Cirebon ini mengulangi peristiwa primordial umat manusia,
bagaimana “penciptaan” terjadi. Tidak mengherankan kalau di zaman
dahulu hanya ditarikan oleh para raja. Raja mewakili kehadiran Sang
Hyang Tunggal itu sendiri, karena dalam paham kekuasaan Jawa, Raja
adalah Dewa itu sendiri, yang dikenal dengan paham dewa-Raja.
Topeng
Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang hadirnya alam semesta
serta umat manusia. Sang Hyang Tunggal yang merupakan ketunggalan
mutlak tanpa pembedaan, berubah menjadi keanekaan relatif yang sangat
berbeda-beda sifatnya. Tari Panji adalah tarian Sang Hyang Tunggal itu
sendiri, dan tarian-tarian lainnya yang empat adalah perwujudan dari
emanasi diriNya menjadi pasangan-pasangan sifat yang saling
bertentangan.
Topeng Cirebon adalah tarian ritual yang amat
sakral. Tarian ini sama sekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya
dalam kitab-kitab lama disebutkan, bahwa raja menarikan Panji dalam
ruang terbatas yang disaksikan saudara-saudara perempuannya. Untuk
menarikan topeng ini diperlukan laku puasa, pantang, semedi, yang
sampai sekarang ini masih dipatuhi oleh para dalang topeng di daerah
Cirebon.
Tarian juga harus didahului oleh persediaan sajian. Dan
sajian itu bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang Tunggal. Sajian
adalah lambang-lambang dualisme dan pengesaan. Inilah sebabnya dalam
sajian sering dijumpai bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang
perempuan, didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki.
Bubur merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek
batu yang kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus
sebagai lambang perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang
perempuan. Air kopi lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas,
air teh lambang Dunia Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang
ditunggalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar