Tari Gambuh Pamungkas, Tarian Keprajuritan
Tari Gambuh berkembang di Kabupaten Sumenep Madura, yaitu reportoar tari yang menggambarkan peristiwa pertempuran keprajuritan. Para penari menggunakan property dalam bentuk tameng kecil yang dikenakan pada punggung tangan, pada tameng tersebut dihias ornamen yang terbuat dari bahan cermin, cermin yang memantulkan sinar ini sebagai salah satu senjata untuk melindungi diri dari serangan musuh serta untuk membantu mengelabuhi pandangan musuh. Dalam penyajian tari Gambuh diperagakan oleh empat penari laki-laki dalam posisi di empat titik sudut.
Sedang komposisi penari yang dimainkan oleh empat penari tersebut berdasarkan empat kiblat yaitu gambaran empat arah mata angin, barat-timur-utara-selatan, sedangkan di bagian tengah merupakan titik bayangan yang disebut sebagai titik kelima yang tidak ada penarinya tetapi perlu diketahui oleh para penari bahwa di titik bayangan tersebut sebagai mata hati, komposisi ini disebut sebagai keblat papat lima pancer, yang disebut pancer adalah titik bayangan yang ada di tengah
Teknik pernafasan yang digunakan oleh para penari menggunakan pernafasan 1-1 yang dilakukan dengan cara menghirup udara melalui salah satu sisi lubang hidung, ditampung di perut kemudian dihembuskan melalui sisi lubang hidung lainnya. Pengaturan nafas ini diuapayakan bisa mengalir dengan sendirinya secara alami mengikuti gerak tubuh dengan tanpa paksaan.
Lintasan penari yang selalu dilakukan kearah kanan merupakan simbol perputaran bumi serta simbol dari perjalanan darah pada tubuh manusia, sedangkan gerakan kaki lebih dominan pada perpindahan telapak kaki bergerak merapat lantai, hal ini dilakukan sebagai transformasi energi bumi kedalam tubuh manusia.
Dalam pertunjukan Topeng Dalang tari Gambuh ini disajikan pada bagian awal, yaitu sebagai pembuka sebelum cerita yang digelar pada Topeng Dalang. Tata busana terdiri dari celana-sembong-stagen-sabuk timang- kace-polsdeker-klat bahu-ikat kepala-gungseng-keris-tameng kecil berdiameter kurang lebih 15 centimeter.
Dalam tata busana tersebut ada semacam hiasan kain yang diselipkan pada stagen berwarna putih-merah-hijau-kuning. Putih sebagai simbol kesucian, merah sebagai simbol keberanian, hijau sebagai simbol kesuburan, kuning sebagai simbol ketulusan.
Dalam perkembangannya yaitu sekitra tahun 1990-an Seniman tari Sumenep pernah menggarap tari Gambuh dengan menggunakan senjata keris serta diinterpretasikan sebagai tarian penyambutan tamu di keraton Sumenep. Namun pada priode selanjutnya yaitu sekitar dekade tahun 2000-an penggarapan tari Gambuh mulai berkembang dalam bentuk yang lain yaitu dengan nama Gambuh Pamungkas yang lebih mengacu pada upaya mencari model penyajian yang lain dari sebelumnya.
Data tentang Tari Gambuh Pamungkas masih berupa arsip pribadi seniman dan pemerintahdaerah setempat, belum tersebar di lingkungan luar seniman maupun di lembaga Pendidikan, dan belum tersedia dalam bentuk buku ajar menunjang pembelajaran tersebut sangat dibutuhkan adanya”
Catatan Sejarah Tari Gambuh Pamungkas
Pada awalnya tari Gambuhlebih dikenal dengan Tari keris, dalam catatan Serat Pararaton tari Gambuhdisebut dengan Tari Silat Sudukan Dhuwung, yang diciptakan oleh Arya Wiraraja dan diajarkan pada para pengikut Raden Wijaya kala mengungsi di keraton Sumenep. Tarian tersebut pernah ditampilkan di keraton Daha oleh para pengikut RadenWijaya pada perayaan Wuku Galungan yang dilaksanakan oleh Raja Jayakatong dalam suatu acara pasasraman di Manguntur Keraton Daha yang selalu dilaksanakan setiap akhir tahun pada Wuku Galungan. Para pengikut Raden Wijaya antara lain Lembusora, Ranggalawe dan Nambi diadu dengan para Senopati Daha yakni Kebo Mundarang, Mahesa Rubuh dan Pangelet, dan kemenangan berada pada pengikut Rade Wijaya.
Tari Keris ciptaan Arya Wiraraja ini lama sekali tidak diatraksikan. Pada masa kerajaan Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden Mas Rangsang PanembahanAGUNG Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing Alaga Khalifatullah (Sultan Mataram 1613-1645), seorang Raja yang sangat peduli dengan seni dan budaya. Maka kala itu Sumenep diperintah oleh seorang Adipati kerabat Sultan Agung yang bernama Pangeran Anggadipa tarian tersebut dihidupkan kembali sekitar tahun 1630, diberi nama “Kambuh” dalam bahasa Jawa berarti “terulang kembali” dan sampai detik ini terus diberi nama Kambuh dan lama kelamaan berubah istilah menjadi tari Gambuh(syaf/LM/dari beberapa sumber)
Tulisan diatas menyalin dari : Lontar Madura http://www.lontarmadura.com/tari-gambuh-pamungkas-tarian-keprajuritan/#ixzz2nWQOwzo5
Harap mencatumkan link sumber aktif
Sedang komposisi penari yang dimainkan oleh empat penari tersebut berdasarkan empat kiblat yaitu gambaran empat arah mata angin, barat-timur-utara-selatan, sedangkan di bagian tengah merupakan titik bayangan yang disebut sebagai titik kelima yang tidak ada penarinya tetapi perlu diketahui oleh para penari bahwa di titik bayangan tersebut sebagai mata hati, komposisi ini disebut sebagai keblat papat lima pancer, yang disebut pancer adalah titik bayangan yang ada di tengah
Teknik pernafasan yang digunakan oleh para penari menggunakan pernafasan 1-1 yang dilakukan dengan cara menghirup udara melalui salah satu sisi lubang hidung, ditampung di perut kemudian dihembuskan melalui sisi lubang hidung lainnya. Pengaturan nafas ini diuapayakan bisa mengalir dengan sendirinya secara alami mengikuti gerak tubuh dengan tanpa paksaan.
Lintasan penari yang selalu dilakukan kearah kanan merupakan simbol perputaran bumi serta simbol dari perjalanan darah pada tubuh manusia, sedangkan gerakan kaki lebih dominan pada perpindahan telapak kaki bergerak merapat lantai, hal ini dilakukan sebagai transformasi energi bumi kedalam tubuh manusia.
Dalam pertunjukan Topeng Dalang tari Gambuh ini disajikan pada bagian awal, yaitu sebagai pembuka sebelum cerita yang digelar pada Topeng Dalang. Tata busana terdiri dari celana-sembong-stagen-sabuk timang- kace-polsdeker-klat bahu-ikat kepala-gungseng-keris-tameng kecil berdiameter kurang lebih 15 centimeter.
Dalam tata busana tersebut ada semacam hiasan kain yang diselipkan pada stagen berwarna putih-merah-hijau-kuning. Putih sebagai simbol kesucian, merah sebagai simbol keberanian, hijau sebagai simbol kesuburan, kuning sebagai simbol ketulusan.
Dalam perkembangannya yaitu sekitra tahun 1990-an Seniman tari Sumenep pernah menggarap tari Gambuh dengan menggunakan senjata keris serta diinterpretasikan sebagai tarian penyambutan tamu di keraton Sumenep. Namun pada priode selanjutnya yaitu sekitar dekade tahun 2000-an penggarapan tari Gambuh mulai berkembang dalam bentuk yang lain yaitu dengan nama Gambuh Pamungkas yang lebih mengacu pada upaya mencari model penyajian yang lain dari sebelumnya.
Data tentang Tari Gambuh Pamungkas masih berupa arsip pribadi seniman dan pemerintahdaerah setempat, belum tersebar di lingkungan luar seniman maupun di lembaga Pendidikan, dan belum tersedia dalam bentuk buku ajar menunjang pembelajaran tersebut sangat dibutuhkan adanya”
Catatan Sejarah Tari Gambuh Pamungkas
Pada awalnya tari Gambuhlebih dikenal dengan Tari keris, dalam catatan Serat Pararaton tari Gambuhdisebut dengan Tari Silat Sudukan Dhuwung, yang diciptakan oleh Arya Wiraraja dan diajarkan pada para pengikut Raden Wijaya kala mengungsi di keraton Sumenep. Tarian tersebut pernah ditampilkan di keraton Daha oleh para pengikut RadenWijaya pada perayaan Wuku Galungan yang dilaksanakan oleh Raja Jayakatong dalam suatu acara pasasraman di Manguntur Keraton Daha yang selalu dilaksanakan setiap akhir tahun pada Wuku Galungan. Para pengikut Raden Wijaya antara lain Lembusora, Ranggalawe dan Nambi diadu dengan para Senopati Daha yakni Kebo Mundarang, Mahesa Rubuh dan Pangelet, dan kemenangan berada pada pengikut Rade Wijaya.
Tari Keris ciptaan Arya Wiraraja ini lama sekali tidak diatraksikan. Pada masa kerajaan Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden Mas Rangsang PanembahanAGUNG Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing Alaga Khalifatullah (Sultan Mataram 1613-1645), seorang Raja yang sangat peduli dengan seni dan budaya. Maka kala itu Sumenep diperintah oleh seorang Adipati kerabat Sultan Agung yang bernama Pangeran Anggadipa tarian tersebut dihidupkan kembali sekitar tahun 1630, diberi nama “Kambuh” dalam bahasa Jawa berarti “terulang kembali” dan sampai detik ini terus diberi nama Kambuh dan lama kelamaan berubah istilah menjadi tari Gambuh(syaf/LM/dari beberapa sumber)
Tulisan diatas menyalin dari : Lontar Madura http://www.lontarmadura.com/tari-gambuh-pamungkas-tarian-keprajuritan/#ixzz2nWQOwzo5
Harap mencatumkan link sumber aktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar