Kamis, 13 Februari 2014

Rokad Pandhâbâ, Ruwatan Murwakala Cara Madura

Rokad Pandhâbâ, Ruwatan Murwakala Cara Madura

15 Desember 2013 pukul 13:31
Oleh: A. Hamzah Fansuri B *)

Pergelaran topeng dalang dalam Rokad Pandhâbâ
Rokad Pandhâbâ, sebagaimana ruwatan murwakala di Jawa, merupakan tradisi ritual diMadura yang bermula dari kepercayaan masyarakat atas ancaman marabahaya sang Bethara Kala terhadap keselamatan seorang anak. Dikisahkan bahwa sang Bethara Kala, anak dari Bethara Guru, telah lahir di tengah lautan dengan tubuh tinggi-besar. Selain itu, dia juga memiliki nafsu makan yang sangat besar. Dewa-dewa pun merasa khawatir seluruh jagad akan habis dimakannya. Sehingga ia diperintahkan untuk berkelana mencari bunyi-bunyian yang indah. Selama pengembaraan, kebiasaan makannya yang berlebihan juga dibatasi. Ia hanya diperbolehkan memakan makhluk-makhluk tertentu, di antaranya: anak tunggal (ontang-anting), anak kembar (uger-uger dan dampit), anak lelaki yang berkakak dan beradik perempuan, anak perempuan yang berkakak dan beradik laki-laki (pancuran kapit sendang), dan seterusnya.
Seorang yang ingin melaksanakan ritual rokadhân (ruwatan) untuk anaknya tersebut, biasanya akan menggelar berbagai macam jenis kesenian tradisi sebagaimana upacara-upacara ritual yang lain, seperti petik laut, helat desa, pesta panen, pesta perkawinan, dan sebagainya. Kesenian-kesenian yang biasa digelar di antaranya mamaca (macapat), tanda(tayub), loddrok (ludruk), ketoprak, topèng dhâlâng (topeng dalang), dan kesenian lainnya yang mengandung unsur bunyi-bunyian.
***
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, modernisme menjadi tuntutan dalam menghadapi era globalisasi. Pendidikan dan keilmuan sangat dijunjung tinggi, sementara Islam sebagai agama masyarakat Madura, kini lebih berorientasi syariah—tidak seperti yang dilakukan Wali Sanga di awal penyebarannya dengan orientasi kesenian dan tradisi. Tradisi-tradisi ritual pun mulai ditinggalkan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, tak terkecuali rokadhân. Mereka menilai ritual-ritual itu hanya akan membawa pelakunya pada perbuatan musyrik. Akibatnya, hari ini sangat sulit menjumpai berbagai jenis kesenian yang biasa menyemarakkan tradisi ritual tersebut.
Pertunjukan menggunakan 4 tahapan plot untuk memilah pengadeganannya, yakni 1) pelukisan (protasis), 2) konflik (complication), 3) resolusi, dan 4) penutup (ending). Protasisdibuka dengan tarian dan permainan anak-anak. Konflik ditandai dengan masuknya Bethara Kala yang ingin memangsa si anak ontang-anting yang sedang bermain. Dalam perburuan, terdapat beberapa jalinan peristiwa yang menjadi hambatan Bethara Kala untuk mendapatkan si anak, di antaranya pohon labu, seropong (ruas bambu yang digunakan untuk meniup tungku), tong-antong (kayu siku segitiga untuk atap rumah). Sementara resolusi dilukiskan dengan adegan yang mempertemukan si anak ontang-anting dengan seorang kakek—yang saat itu sedang mamaca di antara para niyaga—yang biasa bertindak sebagai pemimpin ritual (saman). Lantas ditutup dengan adegan yang menggambarkan prosesi upacara rokâd pandhâbâ, dilanjutkan dengan diaraknya si anakontang-anting menjadi mantan toddhu sebagai ending-nya.
***
Menyaksikan pertunjukan tersebut, masyarakat Madura seperti diajak untuk menjenguk rumahnya sendiri yang telah lama tidak dihuni, lantas me-review nilai-nilai kearifan lokal (local genius) yang terkandung di dalamnya. Di adegan pertama misalnya, anak ontang-anting (termasuk juga uger-uger dan dampit, pancuran kapit sendang), sesungguhnya merupakan sebuah simbol “anak kesayangan” untuk mengungkapkan filosofi kasih sayang. Kasih sayang harus diberikan secara proporsional kepada anak, meskipun dia anak tunggal yang sangat dikasihi. Memanjakan seorang anak, bahkan di antara kedua saudaranya, tentu tidak baik bagi perkembangan psikologis anak tersebut, juga saudara-saudaranya.Rokadhân mencoba mengingatkan para orang tua, tentang pendidikan anak –“ontang-anting”.
Ajaran falsafah—sebagai local genius—dalam bahasa tutur orang tua Madura yang lain dapat ditunjukkan dalam adegan berikutnya. Kalimat abhesto (Madura, berarti melaknat) yang dilontarkan Bethara Kala saat menemui hambatan “siapa saja yang menanam labu sembarangan, menaruh seropong sembarangan, dan rumah yang tanpa tong-antong, maka darahnya setetes pun, rejekinya satu sen pun, akan menjadi makanan saya!” Mengingatkan ucapan-ucapan orang tua dulu, seperti kalimat “jangan tidur di depan pintu, nanti dijauhi rejeki!” atau “jangan bertopang dagu, nanti miskin! Doktrin yang irasional. Tidur di depan pintu dan bertopang dagu, tidak ada hubungan dengan rejeki dan kemiskinan. Tetapi kalimat tersebut sebenarnya dimaksudkan supaya kita tidak menghalang-halangi orang (tamu) yang lewat, sebab orang lain adalah sumber rejeki kita. Bertopang dagu sebenarnya dimaksudkan untuk tidak bermalas-malasan, sebab rejeki harus dicari.
Demikian pula dengan tumbuhan labu, seropong, dan tong-antong. Labu adalah tumbuhan yang merambat, dengan maksud supaya kita (orang tempoe doloe) tak menanam labu di sembarang tempat, sebab batangnya yang menjalar itu bisa mengganggu jalanan (jalan setapak). Seropong juga demikian. Benda itu dapat membuat orang terpeleset dan terjatuh. Sedang tong-antong untuk rumah, di samping sebagai kekuatan penyanggah atap, juga untuk melindungi penghuni dari terjangan angin dan hujan. Jadi, ungkapan-ungkapan tersebut maksudnya sangat fungsional dan aplikatif untuk menunjukkan suatu keadaan kausalitas.
Selanjutnya, sesajian berupa makanan, uang dan kembang yang disyaratkan dalam upacara rokadhân sesungguhnya pendidikan moral–sosial. Hal tersebut merupakan suatu simbol kemakmuran bagi masyarakat tradisional atas melimpahnya rejeki. Maka, melalui upacara tradisi ini sesungguhnya mereka ingin mengingatkan bahwa saling berbagi rejeki antar sesama jauh lebih bernilai daripada mendidik anak dengan kemanjaan rejeki yang berlimpah. Kehidupan sosial yang harmonis tidak dibentuk dengan sifat  individualistik tetapi dengan kepedulian antar sesama.
***
Kebersamaan dalam kehidupan masyarakat di atas, dalam pertunjukan ini diperkuat dengan mantan toddhu sebagai ending-nya. Sebuah acara tradisi yang sudah langka, sungguh! Sebuah tontonan arak-arakan yang syarat kekerabatan dan kesetaraan dilakukan oleh masyarakat Madura dahulu. Perhelatan ini dilakukan oleh keluarga yang tidak mempunyai anak, tetapi ia ingin menghelat pesta pengantin. Maka mereka meminjam seorang anak dari putra-putri tetangga atau kerabatnya untuk dijadikan pengantin. Orang tua dari anak terpilih itu pun tanpa keberatan mempersilahkan anaknya untuk dijadikan pengantin dalam mantan toddhu.
Tetapi mereka tak pernah menyampaikan nilai-nilai falsafah itu secara terbuka. Sementara masyarakat yang telah terlanjur menjunjung tinggi nilai pendidikan sudah terlampau jauh memaknai kesederhanan masyarakat tradisional dengan teori-teori keilmuan dan filsafat modernnya. Prosesi pertunjukan Rokad Pandhâbâ, telah mengajak masyarakat untuk mereview falsafah—kearifan lokal—yang tak sempat terjelaskan oleh pendahulu mereka sebelumnya


Tulisan diatas menyalin dari : Lontar Madura http://www.lontarmadura.com/rokad-pandhaba-ruwatan-murwakala-cara-madura/#ixzz2nWSe7c9d
Harap mencatumkan link sumber aktif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar