Kamis, 13 Februari 2014

Tari Dupplang, (Khas Sumenep. Madura) Gambaran Prosesi Kehidupan Manusia

15 Desember 2013 pukul 13:37
Tari Sebagai Media Penyambutan
 Bentuk kesenian tari barangkali sama tuanya dengan bentuk seni lainnya, dan telah mengalami tahapan evolusi sampai mencapai bentuknya yang sempurna pada masa sekarang..
Konon, sejak jaman dahulu kala tarian dipergunakan oleh para Raja ketika mengadakan penyambutan para tamu agung yang datang berkunjung, baik  yang berasal dari kerajaan-kerajaan tetangga ataupun tamu yang datang dari manca negara. Tujuan penyambutan adalah untuk menghibur sekaligus sebagai sebuah upaya diplomasi untuk menghindari pertentangan dan pertikaian.


Karena berada di dalam wilayah kerajaan, Sumenep mempunyai kekayaan seni tari. Baik yang berasal dari kalangan rakyat biasa, ataupun dari lingkungan istana. Dapat dikatakan bahwa seni tari tradisional di setiap daerah mempunyai pola-pola gerakan yang berbeda dan spesifik, begitu pula ragam gerak dari tari tradisional Madura. Gerakan-gerakan yang ada dalam setiap tari tradisional Madura (terutama gerakan jemari/tangan) tak pernah terlepas dari huruf-huruf yang tertera dalam Al-Qur’an, seperti huruf Allahu ataupun Muhammad. Begitu pula dengan batas gerakan-gerakan tangan, tak melebihi batas payudara.



Pada masa sekarang banyak sekali seni tari tradisional telah mengalami kepunahan, diantara-nya ; tari Marning dari Lenteng, tari Theng-There’ dari Rubaru dan tari Duplang. Namun ada seni tari tradisi  tetap bertahan sampai saat ini karena telah mengalami berbagai perubahan, salah seorang kreografer handal, memperkaya dengan gerakan-gerakan tari konvensional tanpa kehilangan makna, tarian tersebut adalah tarian Muang Sangkal. Sampai saat ini tari Muang Sangkal menjadi tarian wajib menyambut tamu-tamu yang datang ke Sumenep.

Diantara sekian banyak tari tradisional Sumenep yang telah punah, tari Dupplang merupakan salah satu  tari tradisional yang sangat spesifik, unik dan langka. Keunikan dari tari ini disebabkan tarian ini merupakan suatu jalinan kisah, sebuah penggambaran prosesi yang utuh dari kehidupan seorang wanita desa. Kerja keras wanita-wanita petani yang selama ini terlupakan, dijalin dan dirangkai dalam gerakan-gerakan yang sangat indah, lemah lembut, lemah gemulai sekaligus menggemaskan.


Tarian ini diciptakan oleh seorang penari keraton bernama Nyi Raisa. Generasi terakhir yang mampu menguasai tarian ini adalah Nyi Suratmi. Dan tarian ini jarang dipentaskan setelah adanya pergantian sistem pemerintahan, peralihan dari sistem Raja ke Bupati. Sejak saat itu, otomatis tarian ini jarang sekali dipentaskan.

Jalinan Cerita  Utuh Kerja Keras Wanita Petani


Tari Dupplang adalah penggambaran prosesi jalinan cerita  tentang petani wanita yang menanam sejenis tumbuhan ubi-ubian. Berbeda dengan ubi-ubian lainnya, Gaddung jenis ubi ini akan menimbulkan ekses memabukkan apabila dalam proses memasak tidak benar. Jenis ubi ini jarang di konsumsi oleh masyarakat, karena sangat sulit dalam proses memasak-nya. Biasanya Gaddung ini di konsumsi apabila dalam keadaan yang sangat mendesak dan darurat, misal adanya kemarau yang sangat panjang dan sulit untuk mendapatkan bahan makanan.


Tarian Dupplang ini adalah penggambaran utuh dari proses awal penanaman, pemupukan, pemanenan, penjemuran, pengolahan sampai tahap memasak. Setelah proses itu selesai, si penari menghantarkan makanan tersebut ke rumah mertua, sebagai tanda bakti seorang anak. Setelah tiba di rumah mertua, bersama-sama mereka memakannya. Dan tarian ini berakhir, ketika penari setelah mengkonsumsi gaddung tersebut mabuk.
Tarian Duplang ini dibawakan oleh 1 penari wanita, adapun pakaian serta aksesoris yang digunakan penari tergantung pada permintaan yang mengadakan pertunjukan. Di lingkungan keraton, pakaian yang dikenakan biasanya pakaian adat Lega dan memakai sanggul. Sedangkan untuk kalangan masyarakat biasa, digunakan kain panjang dan kebaya. Adapun durasi pertunjukan memakan waktu sekitar 1 s/d 2 jam.
Prosesi Pertunjukan

Tarian ini sering dipentaskan untuk menyambut tamu di istana, memeriahkan acara perkawinan ataupun selamatan desa/laut. Adapun tempat pementasan tidak memerlukan sebuah panggung, namun memerlukan halaman yang luas. Biasanya pementasan dilaksanakan pada pagi, siang ataupun sore hari.
Prosesi tarian ini diawali oleh alunan gendingan, si penari memasuki arena pentas, berputar kemudian jongkok sembari menembangkan kidung  Candaga. Setiap pergantian gerakan berdiri ke duduk jongkok, sembari menembangkan sebuah kalimat “Bapa’e Dupplang, ekencono, se namen  gaddung”. Selesai pengucapan kidung tersebut, penari mulai menanam gaddung. Setelah menanam, penari kembali pulang ke rumah.
Selama dalam prosesi tersebut, penari selalu mengalunkan kidung yang sama, yaitu “Bapa’e Dupplang”, begitu pula saat penari kembali ke ladang untuk melihat tanamannya, dalam posisi jongkok penari menembang “Bapa’e Dupplang se neleggi Gaddung”. Penari melihat tanamannya yang mulai tumbuh dan membuatkan para-para tempat menjalarnya tanaman tersebut. Setelah itu penari kembali pulang ke rumah.


Adegan berikutnya adalah penari kembali ke ladang untuk menggali tanamannya. Sambil berjalan mundur dalam posisi jongkok, selendang diumpamakan linggis. Setelah penggalian selesai, gaddung dimasukkan ke dalam keranjang setelah itu di bawa pulang dengan cara di taruh di atas kepala. Sampai di rumah gaddung tersebut diletakkan sambil mengidungkan “Bapa’e Dupplang e kencono se andi’ gaddung”.

Setelah itu penari mengupas, mengiris-iris kemudian dimasukkan kembali ke dalam keranjang  dan di bawa ke laut untuk di cuci. Sesampai di laut, gaddung tersebut diinjak-injak. Setelah selesai penari kembali pulang ke rumah untuk menjemurnya. Selendang dipergunakan sebagai pengganti tikar. Dalam penjemuran ini penari berkali-kali membolak-balikkan gaddung. Setelah dianggap agak kering, gaddung itu dimasukkan kembali ke keranjang untuk di bawa masuk ke rumah. Dalam adegan ini penari mengidungkan “Bapa’e Dupplang nolonga Gaddung”.


Sesampai di rumah gaddung tersebut dimasukkan ke dalam panci untuk di masak. Sambil menunggu, penari mengambil sebutir kelapa, membuka batok kelapa dengan parang, mengupas kelapa kemudian memarutnya. Setelah gaddung masak, diangkat ke luar dari panci, diletakkan ke dalam piring kemudian ditaburi kelapa parut. Setelah selesai, penari berangkat ke rumah mertua untuk menghantarkan makanan tersebut.

Setiba di rumah mertua, penari sambil duduk jongkok memberikan makanan tersebut, kemudian bersama-sama memakannya. Setelah makan gaddung tersebut, mabuk. Puncak dari tarian ini adalah ketika penari dalam keadaan mabuk. Sebagai penutup penari mengidungkan kalimat “Apa tambana Dupplang, tambana Dupplang ayak sapolo”  secara terus menerus diiringi gending ayak Sapolo adalah sebuah nama tembang.


Adapun musik yang mengiringi tarian ini senantiasa mengikuti gerakan-gerakan penari. Disamping mempertontonkan kepiawaian dalam menari. Penari juga menunjukkan kebolehannya dalam menembang. Karena dalam setiap gerakan tari senantiasa diiringi alunan kidung yang dibawakan oleh penari.



Tarian Dupplang ini adalah sebuah tarian yang cukup rumit dan membutuhkan stamina tinggi. Karena banyak sekali perpindahan gerakan dari posisi jongkok ke posisi berdiri, kemudian ditambah lagi dengan gerakan hilir mudik dari rumah ke ladang, kembali ke rumah, pergi ke laut, kembali ke rumah, proses memasak, menghantarkan ke rumah mertua dan yang paling akhir adalah ketika penari  dalam keadaan mabuk setelah makan gaddung.



Karena tingkat kesulitan yang sangat tinggi tersebut, banyak penari yang segan untuk mempelajarinya. Sehingga tidaklah mengherankan, apabila tarian Dupplang tidak di kenal dan tidak diingat lagi oleh seniman-seniman tari generasi berikutnya. Dengan demikian tari Duplang ini benar-benar punah.

Nyi Surasmi (kanan) bersama penulis


Harap mencatumkan link sumber aktif 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar